Oleh Martha Lestari | Dosen Digital Public Relations Telkom University
Dampak corona terasa ke berbagai sendi kehidupan. Tidak hanya pada kesehatan dan ekonomi dunia yang lumpuh, termasuk merusak hubungan baik antardua negara bahkan beberapa negara. Awalnya lockdown sampai penutupan akses orang asing masuk ke suatu negara, yang diduga negara-negara bersangkutan pencetus atau memiliki wadah corona yang dahsyat, sehingga bisa membawa virus tersebut ke negara yang dikunjungi.
Setelah pembatasan kunjungan ke sebuah negara, mulai bermunculan berbagai spekulasi cikal bakal virus corona. Saling curiga sampai saling tuding pun tidak bisa dielakkan lagi. Sempat khawatir akan terjadi perang dunia, gara-gara beberapa negara adikuasa hubungannya putus sampai memanas, dan saling menuduh pencetus virus mematikan ini, atau penyuplai virus yang sudah memakan 1,5 juta lebih nyawa manusia.
Tidak berhenti di situ, dampak Covid-19 ini terus terasa. Beberapa pekan terakhir di Amerika Serikat, efek corona semakin suram. Aksi anti Asia dan perlakuan rasis kepada orang-orang Asia di beberapa kota besar Amerika tidak bisa dihindari. Rupanya rakyat Amerika lelah dengan situasi dan kondisi yang serba menakutkan dan merusak segalanya. Mereka melampiaskan kekesalannya kepada orang-orang Asia, karena diyakini virus itu berasal dari Wuhan, China. “Ini semua ulah orang Asia”. Kurang lebih rakyat Amerika menganggapnya seperti itu.
Berdasarkan data dari Stop AAPI Hate, sebuah organisasi yang fokus pada tindakan kebencian dan diskriminasi terhadap orang Asia di Amerika, tercatat bahwa ada 500 kejadian diskriminasi dan kekerasan verbal sampai fisik, yang terjadi rentang antara Januari sampai Februari 2021.
Untuk beberapa pekan ke depan, Amerika Serikat tidak lagi nyaman untuk bangsa Asia. Karena serangan itu tidak hanya ditujukan kepada para pendatang baru, mereka keturunan Asia pun tidak luput dari perlakukan serupa. Walhasil banyak warga Asia keturunan yang sudah beberapa generasi tinggal di Amerika, tidak tinggal diam, mereka melakukan protes dan menyuarakan kemerdekan sekaligus hak sebagai warga negara Amerika yang patut dilindungi.
Tidak terkecuali dengan warga asal Indonesia yang juga sempat mendapat serangan berbau rasis pada 27 Maret 2021 di stasiun kereta api Septes’s City Hall, Philadelphia. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, Kemenlu RI pun memberi peringatan kepada warga negara Indonesia yang tinggal atau mau berkunjung ke Amerika, harus lebih berhati-hati atas bahaya xenofobia, yaitu karena benci pada seseorang yang dilatarbelakangi asal usul negara yang berbeda.
Xenophobia diserupakan sebagai tindakan rasis. Dan ini melanggar nilai-nilai demokrasi. Amerika yang digadang-gadang sebagai negara siap menerima heterogenitas, namun ternoda dengan aksi-aksi rasis terhadap orang Asia, baik keturunan atau yang bekerja di Amerika.
Dalam kajian komunikasi lintas budaya, orang Asia mendapat perlakuan stereotype dari orang Amerika. Gara-gara virus corona yang berasal dari Wuhan China, semua orang Asia yang sudah lama tinggal di Amerika pun dicap sebagai orang yang perusak dan pembawa pandemi. Di tambah lagi dengan berbagai label dan sebutan miring tentang orang Asia yang diasari atas kebenciannya karena orang Asia pembaca penyakit yang mematikan di abad ini.
Di sini juga ada ego ras Amerika terhadap ras Asia. Ini semacam momentum untuk menunjukkan power ras Amerika di mata ras Asia. Kalau isu ini yang dimunculkan, ini menjadi kemunduran. Ketika negara-negara Asia mulai bergeliat dan siap bersaing dengan negara-negara pemilik peradaban.
Diharapkan secepatnya ditemukan cara komunikasi yang efektif dalam menyelesaikan masalah yang bisa jadi bersumber dari narasi ras yang lebih kuat versus ras yang lebih rendah. Semua ras sama, dan ras satu dengan ras lain saling membutuhkan dan saling mendukung. Segeralah membuktikan dan berikhtiar untuk mencari solusi yang terbaik. Karena sudah tidak tepat lagi saling menyalahkan antar negara, tetapi di antara negara sebaiknya saling memperkuat melawan virus corona. Ini yang dibutuhkan saat ini. (*)