Pojok  

Menghapus Asimetris Relasi di Hari Buruh

Oleh Riko Noviantoro | Peneliti Kebijakan Publik IDP-LP

Sejak 2013, bangsa Indonesia resmi menikmati 1 Mei sebagai hari libur nasional. Penetapan libur nasional tersebut yang tertuang melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013 tentang Penetapan 1 Mei sebagai Libur Nasional.

Keputusan era Presiden SBY ini awalnya sempat kontroversial. Mengingat jumlah hari libur nasional sudah cukup banyak. Dikhawatirkan bertambahnya hari libur nasional berdampak pada merosotnya produktivitas bangsa.

Kendati demikian, Presiden SBY tetap menandatangi keputusan tersebut. Di mana masa pemberlakuannya pada tahun berikutnya, tentu pula penandatangan ini menjadi keputusan politik yang progresif. Dengan pertimbangan matang yang patut diacungi jempol.

Kental Nuansa Kegembiraan
Mari simak tinjauan sosiologis Keppres 24 Tahun 2013 tentang Penetapan 1 Mei Sebagai Hari Libur yang ditandatangani Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ini. Sebuah pesan menarik tersirat dari kebijakan tersebut. Pesan untuk semua pihak bergembiralah di Hari Buruh.

Baca Juga:  Kompetisi

Pandangan itu terlihat pada pokok pertimbangan butir (b), yaitu berguna untuk membangun kebersamaan antar pelaku hubungan industrial agar lebih harmonis secara nasional. Dengan harapan Hari Buruh adalah momentum menumbuhkan kembali keharmonisan antara pemoda dan pekerja.

Tentu saja, pesan harmonisasi punya indikatornya. Harmonisasi yang memiliki titik temu pada sikap menghormati, menghargai dan melindungi antara sesama buruh, maupun antara buruh dan pemilik modal. Bukan sebaliknya. Apalagi sebatas harmonisasi dalam retorika yang terdengar setiap peringatan Hari Buruh.

Harmonisasi memang sebuah situasi yang nyaris jauh tergambarkan dalam hubungan buruh dan pemilik modal. Pertarungan buruh dan pemodal bagaikan kutukan yang tiada habisnya. Keduanya tumbuh sikap saling mencurigai antara buruh dan pemodal, yang merembes pada pola interkasi sosialnya.

Baca Juga:  Tips Kelas Menulis dalam Mengubah Typo

Kaum buruh menaruh curiga atas kekayaan yang disimpan pemodal berlebihan. Tidak ingin membaginya. Padahal kekayaan pemodal itu merupakan jerih keringat para buruh. Begitu pula sebaliknya.

Para pemodal menaruh curiga atas pola kerja buruh. Kerap mencuri waktu untuk bermalas-malas, memanfaatkan aset perusahaan untuk pribadi buruh. Padahal sudah digaji dengan ukuran layak dalam pandangan pemodal.

Suasana kecurigaan itulah yang tumbuh menahun. Turun temurun. Dari generasi ke generasi. Nyaris tanpa titik temu yang bisa terjalin. Jika pun ada titik temu yang semu. Bertahan sesaat, kemudian pudar.

Suasana itu yang ingin diperjuangkan melalui Keppres No 2 Tahun 2013, mengajak buruh dan pemodal duduk bersama. Saling bernostalgia, berbagi pengetahuan dan jerih payah. Sambil menyusun strategi menatap tantangan masa depan yang lebih berat. Sehingga memiliki pijakan dan upaya sama yang saling menghargai, menghormati dan melindungi.

Baca Juga:  Rumah Ibadah, UIN Bandung dan Ekosistem Taman Cinta Masjid

Lebih menariknya Hari Buruh tidak untuk kalangan buruh semata. Tetapi bagi semua entitas sosial dan entitas ekonomi. Mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pedagang, konten kreator, penulis, seniman, sampai presiden pun menikmati libur Hari Buruh.

Maka untuk itu bergembiralahnya di Hari Buruh. Bergembiralah untuk semua yang berhasil melepaskan sekat sosialnya. Menghapus asimetris relasi atas dasar modal dan sebagainya. Semoga Hari Buruh ini menjadikan negeri lebih produktif. (*)