Pojok  

Problema Keuangan, Budaya Agung, dan Pandangan Ibu-Ibu RW

 

Oleh Budi Santoso
(Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta)

Kata teman saya, apabila orang sudah lepas dari problema keuangan, pikiran dapat merambah kemana-mana. Melewati batas pikiran orang yang biasa-biasa saja. Sambil dia memberikan contoh orang-orang sukses, mulai dari menteri sampai pengusaha kawan-kawannya.

Sudah tiga hari ucapan tersebut saya renungkan. Ternyata ada benarnya. Pernyataannya sebagai antitesis bahwa dalam kesulitan orang akan banyak akalnya, seperti ilmu the power of kepepet.

Banyak kasus membuktikan bahwa hasil “budaya” yang agung di zaman dahulu seperti Piramid, Borobudur, kesusasteraan atau lain-lainnya dibangun oleh “orang kenyang”. Orang (pemimpin) yang sudah tidak ada masalah keterbatasan atau kekurangan dalam hal keuangan sebagai pikiran dalam hidupnya telah banyak membuat perubahan yang luar biasa.

Baca Juga:  Wahyu Makhuta Rama, Model Presiden Pasca Jokowi

Temuan seperti pengembangan kesenian lahir pada masyarakat dengan jiwa yang “ayem”. Sehingga, para petani di daerah dataran tinggi, lebih berkembang keseniannya ketimbang orang pesisir dengan profesi nelayan.

Petani bercocok tanam, sepertinya dapat memprediksi lebih pasti tentang hasil yang akan diterima, hidupnya predictabel. Ketimbang nelayan yang pergi ke laut dengan tantangan yang sangat luar biasa, seperti badai dan nasib baik. Saya sebagai orang pesisir di jalur Pantura, sepertinya mendapat pengalaman seperti itu. Hal di atas ketika “keayeman” diartikan sebagai kebebasan finansial.

Pengalaman saya, ketika hidup dengan keterbatasan keuangan, hidup menjadi “kemrungsung”. Pengalaman ketika saya mendapat beasiswa sekolah dengan dana terbatas, bukan saya dapat fokus dalam belajar, malah pikiran melayang kemana-mana. Memikirkan istri dan 2 anak saya, dan bagaimana hidup dengan keterbatasan.

Baca Juga:  Akurasi di Era Digital

Sehingga untuk menulis saja setiap paper dan membaca seperti tidak jelas kemana arahnya. Seperti buntu, pikiran melayang tidak jelas. Saya paham saya harus keluar dari situasi tersebut. Tetapi saya tidak tahu kenapa susah sekali.

Saya juga sekarang menjadi maklum, kenapa para mahasiswa dengan beasiswa yang terbatas, alih-alih “ngebut” menyelesaikan studinya malah sebagian besar lambat lulus. Mungkin problemnya adalah fokus terhadap keterbatasan keuangan.

Uang memang bukan segalanya, kata motivator yang tidak berduit, atau orang yang gagal dalam meraih sukses dalam finansial. Namun bagi motivator sukses dan berduit, selalu menyatakan, uang… uang… uang…!.

Dan meminta pendengarnya menyebutkan milyar… milyar… milyar!! sebagai “mantera” agar termotivasi menjadi mata duitan dan terbebas dari belitan masalah finansial.
Saya tidak tahu pilihan Anda, namun bagi saya fokus terhadap bokek itu memang membuat buntu.

Baca Juga:  Pojok: Cinta dan Benci

Menurut saya, mungkin kesalahannya dalam pernyataan kawan saya adalah aspek finansial dijadikan prediktor sebagai kesuksesan atau keterbukaan pikiran. Bagaimana kalau dibuang saja, atau tidak usah dipikirkan. Kata saya berteori.

Namun saya menjadi ragu, ketika saya menguping pembicaraan ibu-ibu yang menyatakan, “Memang benar uang bukan segalanya, namun segalanya harus pakai uang.”

Begitulah kesepakatan para ibu-ibu dalam suatu arisan ibu-ibu RW. Dan sayapun hanya terdiam merenung kembali, sambil rebahan.