Oleh Dr Budi Santoso
(Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta)
“Melayu malas, jangan salahkan pekerja asing memasuki dunia kerja,” itulah kutipan pernyataan “sadis” Mahathir Muhamad eks Perdana Menteri Malaysia, di South China Morning Post. Pernyataan ini, alih alih menjadi penggugah semangat kaum pekerja Melayu, malah membuat kemarahan para pekerja Melayu.
Mahathir pun menegur suku Melayu agar berhenti melakukan protes, kemarahan terkait pekerja asing dan meminta agar mereka lebih bekerja lebih keras untuk mencapai kesuksesan.
Mahathir mengkritisi orang Melayu, kebanyakan orang yang senang berkutat di dalam negeri. Banyak mereka sibuk bertahan melindungi lapaknya, jangan sampai direcoki oleh orang asing, dengan berbagai alasan yang menunjukkan “ketidakberdayaan” mereka.
Begitu era keterbukaan, mereka sibuk protes, karena asing merebut lahan pekerjaannya, merebut usahanya. Kata Mahatihir, tenaga asing bekerja lebih keras, lebih pintar dan lebih produktif.
Apakah yang dimaksud pekerja asing adalah orang Indonesia? Antara lain iya, karena ada puluhan ribu orang Indonesia sebagai pekerja migran di Malaysia, belum lagi yang tidak resmi.
Orang Indonesia yang bekerja di luar negeri antara lain Malaysia, ternyata banyak memiliki etos kerja yang luar biasa, tantangan dan tuntutan kerja membuat seperti “kambing, mengembik seperti singa” atau menjadi predator kerja, yang bekerja secara lahap tanpa lelah, dan tidak rewel dalam masalah gaji, dan tidak banyak menuntut. Mungkin ini yang membuat disukai pengusaha di Malaysia.
Saya banyak bergaul dengan pedagang mikro, pedagang kecil, (UKM) mungkin dapat menjadi contoh dalam karakternya. Saya berkesimpulan bahwa UKM yang dianggap sebagai pengusaha “receh”, namun mereka memiliki mental bukan kaleng-kaleng, mereka pekerja keras dan jarang mengeluh, karena merasa percuma mengeluh pun tiada gunanya.
Mereka senang kalau menerima wawasan peluang baru. Mereka harus hidup apapun yang terjadi. Dan mereka sadar, keberhasilan tergantung dari usaha sendiri ketimbang meminta perlindungan dan “mengemis” ke sana kemari.
Mereka para UKM mencari jalan menyongsong nasib hidupnya sendiri, tidak perlu menyalahkan orang lain, tidak mengiba, kecuali percaya atas kemampuannya sendiri. Dan ridho illahi. Mungkin karakter ini yang harus ditularkan ke kaum pekerja kita.
UKM yang tangguh, salah satunya adalah tukang serabi oncom, di sekitar kompleks rumah saya. Meski sudah 10 tahun, terlihat begitu-begitu saja, namun sawahnya di kampung di Indramayu, nambah terus.
Semoga para pekerja Indonesia yang serumpun Melayu, tidak termasuk sesuai dugaan Mahathir. Tetapi saya tidak tahu persis, sebenarnya maunya pekerja kita apa? Apakah bercita-cita ingin bekerja santai dan berduit banyak? Dan kalau begitu semoga saja ada majikan yang mau menerimanya? Wallahu a’lam.