Oleh Dr Budi Santoso
(Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta)
Serombongan angkatan mahasiswa S2 dan S3 di awal perkuliahan sangat bersemangat sekali mengikuti perkuliahan. Mereka kompak dan rajin mengerjakan pemugasan-penugasan dari dosennya.
Namun dari angka statistik lulusan, di banyak program pascasarjana yang menyelenggarakan program Master dan doktor, tingkat kelulusannya rata-rata 50% sesuai waktu dan banyak yang “bergelimpangan” terkatung-katung, menjadi mahasiswa “abadi” sampai drop out.
Ternyata kecerdasan saja tidak cukup, untuk menyelesaikan sekolah, terutama sekolah yang ditutup dengan karya tulis baik tesis maupun disertasi. Butuh ketekunan membaca, merangkai kata dan menelusuri data.
Saya menjadi sangat yakin tentang pendapat bahwa kesuksesan adalah akumulasi dari kemampuan. Akumulasi dari mengumpulkan serpihan-serpihan yang dikerjakan. Untuk dapat mengakumulasi sesuatu, kuncinya harus dikerjakan. Kerja.. kerja.. kerja… Jangan pernah ragukan kata ini untuk membuat suatu keberhasilan.
Sepertinya untuk menyelesaikan sekolah, selain kecerdasan, butuh endurance, daya tahan. Dibutuhkan orang bermental tipe pelari marathon, bukan sprinter.
Saya amati, orang yang tekun dan berkemauan keras yang dapat lulus duluan, ketimbang yang paling pandai di kelas. Si pandai hanya sibuk berwacana, dan sibuk dengan “menyalahkan” atau mengkritisi berbagai pihak dan memperdebatkan berbagai masalah.
Asyik berdebat dengan dirinya sendiri dan orang lain yang menunjukkan bahwa dirinya pandai. Padahal ukuran keberhasilannya sebagai mahasiswa adalah lulus tepat waktu, dengan mengerjakan karya tulisnya.
Kombinasi kecerdasan dan ketekunan, menghasilkan mahasiswa yang cepat lulus.
Kita memang senang berwacana, menimbang sesuatu keinginan yang ada dalam pikiran. Padahal suatu keberhasilan adalah sesuatu yang dikerjakan.
Banyak orang cerdas yang kurang “sukses” dalam hidup dengan ukuran orang normal, seperti kecerdasannya “menjebak” kesuksesannya. Orang tekun dan rajin yang telah berhasil membangun kompetensinya sekeping demi sekeping dalam meraih kesuksesannya.
Saya suka memberikan anekdot, ibarat sepasang suami istri, yang ingin punya anak. Setiap hari mereka hanya berdiskusi ingin punya anak, meskipun setiap malam tidur bersama namun tidak pernah “mengerjakan sesuatu”, saya kira tidak akan sukses mendapatkan anak.
Artinya kesuksesan tidak saja butuh kepala yang berisi otak untuk berpikir, dan berangan-angan, namun juga butuh “dengkul” untuk mengerjakannya.
Katanya hidup itu kenyataan bukan sekedar angan-angan.