Pojok  

Jack Ma, Kerja Keras, dan Nasib Pekerja di Negeri Kita

Oleh Dr Budi Santoso | Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta

Orang dahulu selalu berpesan hidup harus kerja keras. Setelah zaman baby boomers ada “aliran” baru dengan slogan kerja cerdas, kerja yang sistimatis dan efektif.

Banyak orang menerjemahkan secara plesetan, bahwa kerja cerdas adalah kerja cepat selesai kemudian bisa leyeh-leyeh, lebih banyak waktu santai menikmati kemeriahan dunia.

Ada kabar anak SD di Finlandia belajar hanya 3 jam sehari dan tanpa PR, dan ada juga sekolah di Indonesia yang akan menirunya. Di Cina, Taiwan, Korea dan Jepang anak digenjot untuk belajar keras.

Budaya petani leluhurnya yang biasa hidup dengan kerja keras, dan masih membekas di generasi sekarang Dan model belajar model “tanam paksa” juga banyak dipraktikkan pada beberapa sekolah di Indonesia.

Baca Juga:  Pojok: Burayot, Silang Budaya dan Kemajemukan Etnologis

Jack Ma pemilik Alibaba, adalah pekerja cerdas dan pekerja superkeras. Dia mempelopori kerja di perusahaannya dengan pola 9/9 dan 6/7. Artinya, bekerja 12 jam sehari dan 6 hari per minggu. Katanya, demi memenangkan persaingan. Kalau kalah cerdas dan kalah ilmu, maka harus diimbangi dengan kerja lebih keras dan lebih lama.

Sedangkan, di dunia kerja kita sedang gandrung mempelajari tentang konsep quality of work life balance. Kehidupan pekerjaan yang seimbang, katanya agar jiwa kita sehat. Sehingga lebih produktif dan pekerja lebih bahagia.

Saya tidak tahu antara kita masih kurang cukup, atau kita harus bekerja sangat keras dan lama tanpa mengurangi Quality of Work Life Balance (QWL), atau yang penting “bahagia”? Sementara kita masih banyak kebutuhan dan masih banyak kebutuhan pokok yang harus tercukupi dengan upah yang diterima.

Baca Juga:  Pandemi, Lost Civilization, dan Nasib Generasi Penerus Kita

Semuanya pilihan, cara apa yang akan ditempuh. menurut saya, yang penting kita dapat mem-balance kehidupan kita agar senyaman mungkin. Apakah kita harus menyesuaikan dengan keadaan apa adanya atau kita membalance hidup kita dengan lingkungan kerja keras. Bertahan “menyiksa” diri dengan kerja lebih keras.

Sepertinya berdasarkan pengamatan, kebanyakan kaum pekerja kita, selalu berusaha beradaptasi dengan keadaan di tempat kerjanya, QWL apapun diterimanya dengan lapang dada, dan mencoba membalancenya dengan berusaha adaptasi.

Pekerja bertahan dalan situasi apapun di tempat kerjanya, sampai akhir masa pensiun. Sampai akhirnya bukan saja mampu “membalance” dirinya dengan tempat kerjanya, bahkan. Mereka mampu mem-balance menjadi nol, atau membuat lunas segala utang rumah, mobil, utang koperasi, dll di kala pensiun tiba.

Di masa pensiun, para pekerja kita jarang yang memiliki sisa dana sebagai hasil kerja, untuk plesiran keliling kampungnya bule, seperti pekerja di Barat sana. Menikmati piknik di kala pensiun, bukan merenungi rumah bocor, kusam dengan pandangan tak berdaya untuk memperbaikinya.

Baca Juga:  Sukses Itu Milikmu  

Sepertinya kita memang terlatih menjadi orang yang adaptif, dan “nrimo” terhadap sebuah jalan kehidupan yang kita bangun sendiri.

Jadi kalau begitu, untuk kaum pekerja agar tetaplah semangat sampai akhir hayat. Kata bijak hari ini adalah, balance tidak balance ya diatur saja baik-baik.