KABARINDAH.COM – Bukan rahasia lagi bila Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah, mulai dari batu bara sampai emas. Namun, masih ada harta karun Indonesia yang dengan cadangan terbesar kedua di dunia, yakni panas bumi.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki sumber daya panas bumi terbesar kedua di dunia yakni mencapai 23.965,5 mega watt (MW), di bawah Amerika Serikat yang memiliki sumber daya sebesar 30.000 MW.
Namun sayangnya, pemanfaatan panas bumi di Indonesia masih minim, yakni baru 2.130,7 MW atau hanya 8,9% dari total sumber daya yang ada.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati angkat bicara mengenai hal ini. Nicke mengatakan, belum optimalnya pengembangan panas bumi terutama untuk pembangkit listrik atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) karena masih adanya masalah tarif listrik panas bumi.
Dia berpendapat, tarif yang ada saat ini tidak masuk ke dalam keekonomian proyek. Apalagi, imbuhnya, tarif listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) ini juga dikaitkan dengan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik per wilayah, sehingga menyulitkan bagi pengembang untuk menyesuaikan dengan BPP tersebut.
Selain itu, sama halnya dengan sektor minyak dan gas bumi (migas), PLTP juga memerlukan kegiatan pengeboran di awal pengembangannya, sehingga membutuhkan investasi yang besar.
“Dalam 1-2 tahun ini tidak ada pembangunan baru (PLTP) karena masalah tarif. Tarif EBT dikaitkan BPP per wilayah, ini jadi stop. Perlu ada regulasi agar geothermal (panas bumi) masuk keekonomiannya dulu,” ungkapnya dalam acara CNBC Energy Conference: Membedah Urgensi RUU Energi Baru dan Terbarukan, Senin (26/04/2021).
Di industri migas telah terdapat skema pengembalian biaya produksi oleh pemerintah kepada kontraktor atau produsen migas atau dikenal dengan istilah ‘cost recovery’. Untuk itu, menurutnya skema yang sama perlu diterapkan di industri panas bumi. Tak mesti sama, namun bisa juga melalui ikut serta pemerintah dalam membiayai atau ikut mengebor panas bumi.
“Ini perlu terobosan seperti itu, pemerintah ada government drilling, sehingga potensi geothermal bisa dioptimalkan,” ujarnya.
Menurutnya, PLTP merupakan salah satu sumber pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan yang bisa digunakan untuk menopang beban dasar (base load) seperti halnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Ke depannya, bila pemerintah ada rencana mengurangi PLTU, maka PLTU bisa cocok menggantikannya.
Isu belum optimalnya pengembangan panas bumi ini juga menjadi pertanyaan salah satu anggota Komisi VII DPR RI, yakni Maman Abdurrahman. Dia mempertanyakan mengapa pengembangan PLTP saat ini agak “sunset”? Padahal beberapa tahun lalu pengembangan PLTP masih berjalan.
“Dulu geothermal oke, kok sekarang turun? Misal Pertamina produksi geothermal, siapa yang beli? kan PLN, seperti apa sih kondisi geothermal kita? Kok sekarang agak sunset?” tanyanya di dalam forum yang sama.
Berdasarkan data Pertamina, Pertamina kini mengoperasikan 672 MW PLTP dan Joint Operation Contract (JOC) PLTP 1.205 MW, dan dalam eksplorasi dan pengembangan sebesar 495 MW.