Pojok  

Untung Vs Aji Mumpung, Etika dan Moralitas dalam Berdagang

Oleh Dr Budi Santoso|Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta

Katanya seorang pengusaha itu harus “aji mumpung”, raja tega dan trengginas. Setiap celah, setiap kesempatan akan dimanfaatkan, meskipun dalam suasana bencana dan kedukaan yang melanda suatu masyarakat.

Prinsip ekonomi seperti sudah mendarah daging, permintaan naik suplai kurang, harga naik. Ada peluang menaikan harga, maka dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Kata berita ada empat pengusaha toko bahan bangunan ditangkap karena menaikan harga barang dagangan sebesar sekitar 50 persen di kala bencana melanda NTT. Mumpung dagangannya dibutuhkan dan pasokan yang langka, maka naiklah harganya. Pengusaha ini dianggap “menyalahi” aturan, maupun etika dan moralitas di kala bencana.

Beberapa waktu lalu, terjadi juga kenaikan hargai cabe rawit yang nyaris tiga kali lipat. Semula harga sekitar 40 ribuan menjadi sekitar 120 ribuan. Ini lebih dahsyat lagi. Namun para pedagang tetap berjalan seperti biasa.

Baca Juga:  Ya Cholil, Ya Dhuyuf Al-Rahman

Kondisi pada dua peristiwa di atas adalah berbeda. Di NTT pengusaha memanfaatkan situasi penderitaan bencana, sedangkan urusan cabe rawit, pedagang tertentu memanfaatkan “kesenangan” hobi makan pedas, di musim paceklik cabe. Meskipun menurut saya keduanya tidak elok dilakukan.

Berdagang atau berniaga juga harus ada batasan etika dan moral, Tidak dapat “suka-suka”, asal mau sama mau, suka sama suka. Harus ada “kejujuran”, keterbukaan, transparansi dan kepantasan meraup laba.

Agama juga mengajarkan etika dan moralitas dalam berdagang, namun apa yang sering kita lihat adalah, sikap manusia yang selalu “serakah”, tamak, spekulatif dan seringkali tanpa perasaan simpati maupun empati.

Kita sering ribut berdebat tentang istilah yang berbasis agama, giliran ada peluang mengeruk untung, kita seperti lupa bahwa kita beragama. Banyak oknum yang memanfaatkan istilah agama untuk menangguk untung yang berlebihan.

Ketika bulan Ramadhan tiba, Lebaran menjelang, atau akhir tahun, harga kebutuhan hari raya naik harga dianggap biasa, konon karena meningkatnya permintaan. Mumpung suasana hati konsumen sedang “bahagia” menyambut hari raya, banyak pedagang bertindak “suka-suka”.

Baca Juga:  Ingin Cepat Lulus Kuliah, Ikuti Panduan Penulisan Skripsi dan Tugas Akhir Artikel Ilmiah

Apakah ada keikhlasan dari sang konsumen? seperti biasa, konsumen sambil menggerutu tetap saja membeli, karena konsumen tidak mampu membendung tuntutan hawa nafsunya untuk merayakan kebahagiaan di hari raya yang setahun sekali, dan dirayakan bersama-sama.

Apakah melanggar etika dan moralitas dianggap tidak melanggar hukum. Sehingga kita bisa suka-suka?

Semoga menjelang Ramadhan, tuntunan agama menjadi standar etika dan moral kita dalam kehidupan, bukan seenaknya saja. Meskipun “suka sama suka” di permukaan, namun ada keterpaksaan, di lubuk hatinya.

Seperti hari Jumat kemarin saya, makan bakso di warung pinggir jalan, penjualnya tetap menyediakan sambal dengan kepedasan tetap, dengan harga jual tetap, meski harus mengeluarkan uang tambahan untuk membeli cabai rawit yang harganya meroket. Ada yang mengatakan bahwa sang penjual bakso telah melakukan “kebodohan” dalam berbisnis. Apa iya?

Selama pandemi hasil, penjualannya menurun drastis, biasanya mendapatkan 600 ribu per hari sekarang, hanya mendapatkan pendapatan 200 ribu per hari. Namun sambelnya tetap pedas membahana.

Baca Juga:  Menjadi Aktivis Muhammadiyah

Hari Jumat kemarin, Alhamdulillah, saya melihat ada seorang pembeli yang bersedekah, lumayan sebagai bantuan tambahan pembayar sewa tempat yang belum terbayar, sebesar 300 ribu dan sudah nunggak dua bulan.

Hidup seperti, kayu Ebony and ivory dalam tuts piano, there is good and bad in everyone. Silahkan dipilih jalan mana yang akan ditempuh, dengan risikonya masing-masing. Namun yakinlah, Tuhan akan memberikan rezeki dari arah yang tidak terduga. (*)