Oleh Muhammad Iqbal Badrudin
(Mahasiswa STAI Al-Masthuriyah)
“Kemarin bahkan sampai harus pinjam-pinjam modal,” keluh Teh Ade, pedagang warung veteran di Pondok Pesantren Al-Masthuriyah—Cisaat, Sukabumi. Pandemi Covid-19 telah memukul hampir semua lini kehidupan, salah satunya para pemilik warung di sekitar pondok pesantren.
Hampir lima bulan lebih, warung Teh Ade sepi pelanggan. “Bulan Maret 2020, waktu pesantren tiba-tiba diliburkan, pemasukan sama sekali tidak ada dari warung. Mau cari usaha yang lain pun susah. Soalnya, satu-satunya pemasukan yang bisa diharapin itu cuma dari warung ini. Akhirnya ya, pasrah saja,” tutur Teh Ade berkisah.
Meski sudah berbulan-bulan warungnya kosong dari pelanggan, Teh Ade tidak pernah berhenti berdoa. Ia selalu berharap agar rezekinya selalu lancar. Ia yakin, rezeki pasti akan selalu datang dari-Nya dalam setiap keadaan.
“Asalkan kita berdoa, ya, yakin saja ada rezeki. Alhamdulillah, selama libur Corona kemarin, Teteh malah dikasih anak. Ini sebentar lagi mau lahiran,” katanya sembari tersenyum.
Selama pesantren diliburkan, Teh Ade selalu menghitung hari sambil berharap santri akan kembali mondok dan memenuhi lagi warung tempatnya berniaga. Berbulan-bulan tak mengais penghasilan, tabungan hasil jualannya sudah mulai terkikis.
Agar tetap bisa berjualan, Teh Ade bahkan sampai harus meminjam modal. “Yang Teteh yakini, di sini itu pesantren. Melayani santri itu pasti berkah. Meski labanya tidak besar pun. Rezeki pasti selalu ada. Memberi makan buat santri itu ibadah,” tutur Teh Ade dengan semangat.
Harapan dan doa Teh Ade pun terkabul. Agustus 2020, setelah lima bulan warungnya sepi, para santri kembali datang ke pesantren. Pengelola pesantren pun menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Para santri tidak diizinkan keluar dari komplek pesantren.
Alhasil, para santri yang biasanya membeli makanan dari luar harus memuaskan dahaga mereka di dalam warung-warung yang ada di dalam komplek pesantren. Salah satunya, warung Teh Ade. Kesabarannya menanti berbuah keuntungan. Kini, ia bisa meraup pemasukan berkali-kali lipat.
“Sisi baiknya, setelah lima bulan tidak ada pemasukan itu, sekarang santri tidak ada yang boleh jajan keluar. Jadi ya, mau tidak mau harus beli di warung Teteh,” kata Teh Ade semringah. “Penjualan tentu saja jadi bertambah banyak. Biasanya Teteh malas kalau buka warung pagi-pagi. Tapi karena sekarang, santri cuma bisa beli sarapan di warung Teteh, jadinya harus semangat buka warung pagi. Alhamdulillah, rezeki mah selalu ada.”
Namun, hidup ibarat putaran roda. Kadang di atas dan kadang di bawah. Saat warungnya laris manis, bisnis Teh Ade sekali lagi jatuh ketika santri diliburkan lagi pada November 2020.
“Barulah ketika November itu,” cerita Teh Ade, “Tiba-tiba santri diliburkan lagi. Sampai tahun baru, katanya. Tapi, ditunggu-tunggu sampai Januari, santri tidak ada yang datang juga. Malah baru datang bulan Februari. Gak apa-apa sih, yang penting gak selama dulu, yang sampai lima bulan itu. Libur yang ini mah tidak usah sampai pinjam-pinjam modal.”
Dari pandemi Covid-19 ini, Teh Ade belajar bahwa tidak selamanya bisnis selalu ada di atas. Pasti ada saja saatnya usaha seseorang akan menemui titik berat, yang harus dilewati dengan ketabahan dan harapan besar kepada Allah SWT.
“Semoga saja, ke depannya, Teteh bisa membangun warung ini lebih besar lagi,” harap Teh Ade. Ia tampak begitu bahagia menekuni usaha warungnya untuk melayani para santri.
“Selama kita patuh sama peraturan pondok, selama kita jualan sesuai dengan ketentuan yang diberikan pesantren,” tambahnya di akhir wawancara, “insya Allah, berkah.”