Oleh Dr. Budi Santoso
(Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta)
Pendidikan kedinasan atau manajemen trainee di perusahaan setiap angkatan melahirkan lulusan dengan “pangkat” yang sama.
Ratusan alumni sekolah kedinasan lulusannya berlomba dalam karier di instansinya. Mereka “memburu” satu titik, atau beberapa posisi yaitu menjadi pimpinan tertinggi di instansinya.
Bisa disebut kepala, panglima, direktur atau lainnya. Ratusan bahkan ribuan lulusan hadir setiap tahun. Namun posisi jabatan tidak atau jarang bertambah dari tahun ke tahun.
Meskipun dari “sekolah” yang sama, lulus pada tahun yang sama, dan dipersiapkan untuk menapaki kariernya, namun dalam perjalanan hidupnya berbeda-beda dan mendapatkan akhir karier yang berbeda.
Kata orang sekolahan, faktor penempatan di lingkungan yang “pas” akan membuat karier seseorang moncer.
Lingkungan yang pas adalah lingkungan yang dapat “mengeluarkan” kemampuan seseorang seoptimal mungkin. Atasan, teman sekerja, dan pekerjaannya yang dapat membuat seseorang cemerlang.
Apakah lulusan terbaik dapat menjamin sukses dalam pekerjaannya? Ternyata untuk sekolah kedinasan, lulusan terbaik sering menjadi referensi dalam mendapatkan lingkungan yang “baik” dan pas, sehingga perjalanan kariernya semakin “mengkilat”.
Lulusan selalu dihasilkan oleh sekolah kedinasan setiap tahun. Akhirnya, para alumni sekolah kedinasan akan mengalami situasi bottle neck atau menuju leher botol, dalam kariernya. Seperti di tentara atau polisi yang “terhenti” di pangkat kolonel atau Kombes. Mereka terhenti di tingkat perwira, menunggu giliran menduduki jabatan yang terbatas jumlahnya.
Bagaimana dengan alumni sekolah umum seperti universitas dalam berkarier? Ternyata ketika lulusan terbaik atau cum laude, mereka memiliki kebebasan dalam memilih organisasi tempat meniti kariernya.
Namun banyak alumni terbaik, sering salah memilih organisasi dan menemukan lingkungan organisasi yang kurang pas. Sehingga, kadang karier mereka biasa-biasa saja. Kepintarannya tidak diasah oleh lingkungan kerjanya, seperti oleh atasan dan pekerjaannya.
Sebaliknya, untuk alumni yang “biasa-biasa” saja, ada yang malah lebih moncer karena mendapatkan lingkungan yang pas. Mungkin hal ini karena urusan nasib baik.
Para orang tua mengatakan, dalam karier atau jabatan seseorang ada faktor “garis tangan” atau nasib. Seperti ada suratan nasib yang menempatkan seseorang.
Bagi kita yang risau tentang nasib kita nanti, apakah sebaiknya kita tanyakan nasib kita ke peramal saja, agar kita lebih tepat dan efisien dalam bertindak sesuai nasib kita. Sehingga tidak usah capek sekolah dan menghabiskan biaya untuk yang tidak perlu.
Nasib diramal, mirip dengan ramalan cuaca. Eeeh prakiraan cuaca, hanya metodologi dan cara meramalnya berbeda. Namun ada persamaannya, keduanya sama-sama tidak pernah meminta maaf, ketika ramalannya meleset.