Pojok  

Sepenggal Cerita di Negeri Singa

Oleh Ratna Juwita MPd
(Magister Pendidikan STAI Sukabumi)

Perjalanan hidup kadang tidak sesuai rencana. Tetapi roda kehidupan terus berputar.

Harapan dan kenyataan terkadang tidak sejalan. Tidak semua yang kita inginkan bisa terwujud sesuai keinginan. Rencana yang kita buat adakalanya berjalan tak sesuai dengan ekspetasi. Jika sudah begini, akh… rasanya ingin menyerah dan putus asa saja.

Keputusasaan itulah yang pernah kualami dua tahun silam. Ketika jari tidak lagi menari indah menyusun kata menjadi sebuah tulisan. Kaki tak lagi bisa melangkah untuk menjalankan aktivitas keseharian. Bahkan, sekadar shalat berdiri ataupun duduk saja tidak lagi mampu.

Keputusasaan itupun semakin lengkap ketika mendengar vonis dokter yang mengatakan, “Ibu terkena stoke permanen.” Kaki dan tangan tidak mampu ku gerakkan. Berbicara pun terbata-bata dan tidak bisa nyaring. Hanya mata yang masih mampu berkedip saat itu.

Hancur, ya. Tentunya hati siapa yang tidak hancur ketika segudang rencana tersusun rapi, tiba-tiba berantakan karena keadaan. Tiga bulan dilalui tanpa perubahan.

Baca Juga:  Kegagalan, Skenario Tuhan, dan Hikmah di Baliknya

Hari demi hari terbaring tanpa ada aktivitas yang biasa dikerjakan. Bangun pagi, mengurus anak anak, pergi ke sekolah bersuka ria mentransfer ilmu dengan peserta didik, bercengkrama dengan rekan sejawat tidak lagi jadi rutinitas saat itu.

Meski diliputi putus asa dan berhenti berusaha, ternyata hidup masih terus berjalan. Diam saja di tempat dan menyalahkan keadaan tak akan membuat perubahan.

Memangnya kita mau menyia-nyiakan hidup kita begitu saja tanpa berbuat sesuatu yang berarti? Memotivasi diri itulah yang senantiasa ku perbuat saat itu dan terus berdoa kepada Allah SWT.

Berbagai terapipun terys dijalani. Alhamdulilah, dalam waktu yang sangat singkat, kembali ku bisa berjalan. Walaupun sepenuhnya normal, berbicara dan menggerakkan tangan. Syukurku padaMu Ya Robb.

12 September 2018 sepenggal cerita dan semangat baru ku ikuti wisata literasi ke Negri Singa, Singapura. Keterbatasan dan 100 persen berjalan normal tidak menyurutkan tekadku untuk terus berkarya. Mulai ku mengoreskan sebuah cerita dalam sebuah tulisan. Aku banyak belajar mensyukuri nikmat, mengisi peluang, bangkit, dan terus semangat berkarya.

Baca Juga:  Hilangnya Humanisme di Era Digital

Terlebih, setelah melihat pemandu wisata literasi yang sangat inspiratif. Dengan satu tangan saja, ia telah menghasilkan segudang karya. Setiap kata yang ia torehkan berubah menjadi novel dan buku. Karya-karya itulah yang mengantarkannya keliling Indonesia, bahkan dunia.

Nah, aku yang masih dengan tangan dan kaki utuh hanya perlu dilatih saja untuk kembali normal. Sepenggal cerita di Negri Singa itu membuat ku sadar:

1. Sedih boleh, tapi jangan lama lama. Matahari juga masih berputar, siang dan malam masih datang silih berganti. Nggak mau kan kita melewatkan hal-hal penting karena terlalu tenggelam dalam kesedihan diri?

2. Saat kita terjatuh, saat kita semakin kuat: Dengan merasakan kesedihan, kita bisa melihat hidup dari sudut pandang yang berbeda. Terluka dan terjatuh, itu semua sudah menjadi bagian ujian kita. Kalau tidak begitu, mana bisa kita menjadi seseorang yang lebih kuat. Besi saja harus ditempa berkali kali di suhu yang superpanas untuk bisa jadi sebilah pedang.

Baca Juga:  Ayo Gabung di Ekosistem Digital Republika!

3. Hidup bagai mengayuh sepeda: Sepeda harus terus dikayuh agar kita tetap bisa berjalan dan sampai tujuan. Begitu juga dengan hidup kita harus terus melangkah

4. Langkah mungkin terhenti, tapi itu sebenarnya memberi kesempatan untuk beristirahat.

Memang nggak mudah menghadapi kenyataan itu, tapi selalu ada cara untuk berpikir positif. Jangan sampai langkah terhenti di saat keberhasilan itu tinggal selangkah lagi. Terus semangat dan berdoa.