KABARINDAH.COM – Sepeda adalah “mesin”, yaitu mesin yang berperan sebagai salah satu alat pemersatu di antara beragamnya perbedaan. Sepeda juga punya andil dalam menunjang mobilitas para pemuda nasionalis pada masa pergerakan guna memperjuangkan hak-hak kemerdekaan.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, sepeda masih tetap menjadi “senjata” praktis dalam upaya menumbuhkembangkan ikatan persaudaraan dan persatuan bangsa hingga sekarang.
Pada zaman kolonial peran sepeda sebetulnya sudah dirasakan oleh sebagian warga pribumi, paling tidak di seperempat awal abad ke-20. Sepeda yang banyak digunakan saat itu berasal dari Inggris, seperti Rover, Humber, Raleigh dan Sunbeam, atau sepeda buatan Belanda semacam Fongers, Burgers, Gazelle dan Simplex.
Akan tetapi, sepeda bukan hanya sekadar alat transportasi ataupun media rekreasi. Selain untuk bekerja, sepeda digunakan pula oleh kelompok masyarakat berpendidikan dalam menunjang studi pada sekolah-sekolah formal yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda.
Pada masa itu pula semangat dan nilai-nilai persatuan dan kebangsaan kian menyeruak untuk bebas dari rantai kolonial. Semangat dan jiwa nasionalisme serta persatuan bangsa menjadi modal utama.
Namun, para pelajar dan pemuda nasionalis dari berbagai suku itu dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah kolonial. Buah pemikiran para pemuda nasionalis dan sepak terjangnya dalam berorganisasi dan berpolitik menjadi cikal bakal perlawanan.
Mereka bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan kereta angin, termasuk para tokoh dan pemimpinnya, seperti Soekarno.
Pasukan bersepeda
Sepeda menjadi senjata yang penting pada masa menjelang kemerdekaan. Konon, barisan pemuda yang dibentuk tentara Jepang di Indonesia—seinendan—juga mendirikan pasukan bersepeda di sejumlah daerah. Senjata lain yang mereka gunakan adalah bambu runcing.
Sungguh, kemerdekaan menjadi harga mati bagi segenap bangsa Indonesia yang multietnis. Semangat persatuan kian tumbuh dan berkembang disertai dengan pengorbanan dan perjuangan demi sebuah tujuan dan cita-cita mulia, yakni menjadi bangsa yang merdeka.
Nilai gotong royong dan rasa nasionalisme juga datang dari kalangan usahawan yang melakukan aktivitas bisnis dalam penjualan sepeda di tanah air.
Dikutip dari Oldbike in History, surat kabar Soeara Asia (September tahun 1944) memberitakan tentang sumbangan dana yang dihimpun para penjual atau toko sepeda untuk membantu kepentingan front pertahanan negara.
Para anggota perserikatan toko sepeda di daerah Sumatera Timur itu berusaha mengumpulkan dana hingga mencapai 10.000 yen. Ini merupakan suatu upaya yang patut diapresiasi mengingat di masa itu bisnis sepeda dunia tengah dalam kemunduran.
Sebelumnya, di akhir bulan Maret tahun itu, perserikatan telah menyumbang lebih dari 2.500 yen untuk tujuan yang sama. Pengumpulan donasi digelar ketika diadakan peringatan masuknya tentara Nippon di Kota Medan.
Tahun 1944, koran Borneo Shimbun juga menulis berita tentang sumbangan yang dipungut secara sukarela dari tempat parkir sepeda untuk Badan Pembantoe Pembela Tanah Air.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Wikana, salah seorang tokoh di balik proklamasi, datang menemui Bung Karno di Pegangsaan Timur pada 15 Agustus 1945 juga menggunakan sepeda. Dikisahkan dalam sebuah buku, Wikana menghadap para tokoh golongan tua itu dengan dibonceng DN Aidit.
Sebarkan berita proklamasi
Penyebarluasan berita proklamasi ke seluruh pelosok tanah air dilakukan dengan berbagai cara dan media. Selain radio, koran, poster, selebaran hingga coretan di gerbong kereta api, kabar kemerdekaan pun dilakukan secara berantai dari mulut ke mulut dan pengerahan massa.
Masyarakat dan rakyat Indonesia, terutama kaum muda yang memiliki semangat nasionalisme, turut menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan ke kampung-kampung dengan bersepeda.
Mereka pun menggunakan corong pengeras suara saat berkeliling. Hal ini dilakukan sebagai langkah membantu mempercepat sampainya berita agar segera diketahui masyarakat Indonesia secara luas.
Pendek kata, bukan hanya alat komunikasi yang dibutuhkan, alat transportasi praktis semacam sepeda turut andil dalam menyebarluaskan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pengantar pesan
Setiap kayuhan begitu bernilai demi perjuangan bangsa, meski nyawa menjadi taruhannya. Pada masa perang kemerdekaan 1946-1949, sepeda banyak digunakan oleh tentara Indonesia dalam perang gerilya.
Alat transportasi tunggal ini dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyelundupkan senjata, mengangkut surat perintah atau pesan penting untuk dikabarkan ke batalion di daerah.
Guna menghindari operasi patroli biasanya surat penting itu disembunyikan di dalam lubang pipa setang, rangka ataupun roda. Dengan sepeda pula tentara Indonesia dapat melakukan hubungan antarpasukan di sejumlah daerah pertempuran.
Bagaimanapun, sepeda hanyalah benda mati. Akan tetapi, keberadaannya telah memberi peran positif ketika digunakan para nasionalis untuk menggapai tujuan dan cita-citanya. Mobilitas dengan menggunakan sepeda begitu praktis dalam mengantarkan dan menyatukan berbagai pemikiran dari tempat yang berlainan.
Masa kini
Sepeda tetap mampu menjalankan perannya sebagai alat pemersatu walau Indonesia sudah 77 tahun merdeka. Memang, harus diakui bahwa penggunaan sepeda di dalam negeri sempat mengalami penurunan selama bertahun-tahun.
Akan tetapi, penggunaannya dalam beberapa tahun terakhir kembali menggeliat, bahkan kini semakin banyak penggunanya.
Menjamurnya perkumpulan atau komunitas pesepeda di tanah air menjadi satu bukti bahwa kendaraan boseh bersifat universal. Berbagai kalangan masyarakat terhimpun dalam suatu wadah meski datang dari latar belakang yang berbeda.
Kenyataannya, mereka berserikat bukan hanya karena kepentingan atau hobi yang sama, melainkan ada sebuah nilai luhur yang telah menjadi salah satu pilar Ibu Pertiwi sejak lama. Ya, memupuk persaudaraan di antara sesama serta mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.