Oleh Dr Budi Santoso
(Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta)
Ruko bekas showroom mobil itu, sudah berganti usaha. Sekarang dikontrakkan ke pengusaha warung Padang. Kalau ditanyakan ke akademisi, membuka warung makan di kala pandemi pasti sangat tidak disarankan.
Namun berbeda cara berpikir pengusaha. Begitulah kenyataannya. Ada perbedaan melihat peluang antara dosen atau guru dan pengusaha.
Kata pengusaha, berbisnis itu harus mendarah daging. Ya, menjadi memory muscle. Kesabaran, komunikatif, ketekunan, keuletan harus dilatih dengan menjalaninya bukan sekadar didongengkan.
Apalagi kelakuan pengusaha yang “bandel”. Tidak kenal istilah menyesal, bangkrut dagang lagi, bangkrut usaha lagi. Butuh latihan, sampai kematian menjemputnya.
Kemarin saya makan di restoran itu, rumah makan Padang “palsu”, karena pemilik, pemasak dan pelayannya semua orang Jawa. Katanya, ini adalah warung kedua yang dibuka di kala pandemi. Pada Maret 2020, di daerah Fatmawati membuka warung pertamanya. Dan Alhamdulillah hanya bertahan tidak lebih dua bulan karena harus patuh terhadap PSBB. Bangkrut.
Bulan November membuka lagi di daerah Bekasi. Tempat yang sekarang. Dalam dua bulan menunjukkan trend yang baik. Sebagai usaha baru, hasilnya lumayan. Di masa pandemi dapat menutup biaya operasional saja sudah sangat luar biasa. Tidak harus berlama-lama nombok biaya usaha.
Begitu ndableknya sang pengusaha. Apa resepnya?
Katanya, dia sudah berlatih berbisnis dari kecil di Purworejo. Dia sudah biasa menunggu warung sayuran milik orang tuanya di pasar sejak kecil. Duduk melamun dan terpaksa menunggu, mengharap pembeli yang datang, sambil mengantuk.
Dia mulai sadar bahwa berbisnis itu bukan bertahan namun menyerang. Tidak ada pembeli yang “turun dari langit”, harus diserang dan dijemput dalam dimensi tempat dan waktu. Gagal sekarang mungkin besok ada kesempatan, gagal di sini, mungkin besok berhasil di sana.
Terus menyerang, seperti Jenghis Khan atau Iskandar Zulkarnaen atau Hanibal. Orang yang hebat sejak kecil jadi penyerang, bukan orang yang senang bertahan. Atau tim juara sepak bola adalah tim yang harus selalu menyerang, karena disitulah tim akan mendapat kemenangan.
Sang pemilik sebagai orang Jawa dan umumnya pengusaha Asia, tetap saja memikirkan hal-hal spiritual, seperti memajang di restorannya foto tokoh agama, dan berbagai potongan tulisan Arab pada figura berkaca.
Katanya, bukan sebagai pengais rezeki, namun sebagai pendorong dan penguat semangat saja. Itu pengakuannya.
Diapun yang lulusan sekolah dagang, mulai mengkritisi tentang sekolah dagang. Pertanyaan kritisnya, apakah di sekolah dagang diajarkan atau dilatih untuk itu?
Saya hanya terdiam dan saya serahkan kepada yang berwajib saja, untuk menjawabnya.
Ayoo semangat, seraaaang! dan menang!