Oleh Mahpujoh MPd
Magister PAI STAI Sukabumi
Rasa malu hakikatnya adalah baik. Karena sifat malu ini akan senantiasa mengajak seorang hamba untuk berhias diri dengan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat rendah serta hina.
Sungguh betapa banyak manusia yang jatuh harga dirinya ketika dia mengabaikan sifat malu. Sikap malu hakikatnya adalah baik karena akan mendatangkan kebaikan.
Rasulullah SAW bersabda: “Sifat malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan” (HR Bukhari & Muslim).
Dalam riwayat lain, seorang sahabat pernah mengecam saudaranya dalam hal malu, seolah-olah dia berkata kepada saudaranya “Sungguh malu telah merugikanmu”. Lalu Rasulullah bersabda: Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman” (HR Imam Bukhori No. 24).
Namun demikian, seorang hamba haruslah berhati-hati karena ternyata ada juga sifat malu yang tercela. Di antaranya adalah: Pertama, jika perasaan malu membuat seseorang sungkan melakukan ketaatan, maka itu tidak disebut dengan malu. Ini adalah kelemahan atau perasaan rendah diri dan termasuk kategori malu yang tercela karena sikap malunya telah menghalanginya untuk memperoleh kebaikan.
Kedua, jika seseorang merasa malu belajar ilmu syari seperti belajar Alquran, tata cara shalat yang benar karena umur sudah lanjut. Padahal dalam melakukan kebaikan tak ada kata terlambat.
Ketiga, jika seseorang malu menampilkan keislamannya seperti malu berpakaian yang Islami dan syari, malu memelihara jenggot. Bahkan ada yang malu shalat ke masjid karena tidak pernah atau sangat jarang dilakukan dan yang lainnya. Maka, ini juga termasuk sikap yang tercela. Sungguh bagi seorang Muslim, tidak ada kata malu dalam ketaatan selama perbuatan itu sesuai dengan syariat.
Imam Mujahid mengingatkan, tidak akan mendapat ilmu orang yang malu dan orang yang sombong (Atsar shahih, diriwayatkan oleh imam bukhori). Al Qodhi Iyadh pun berkata, malu yang menyebabkan seseorang menyia-nyiakan berbagai hak (terutama hak Allah dan juga hak mahluk-Nya) bukanlah termasuk malu yang disyariatkan. Bahkan ini sebagai ketidakmampuan atau kelemahan (Fathul Bari).
Oleh karena itu, seorang hamba haruslah menjauhkan diri dari sifat malu yang tercela ini dan senantiasa menjaga sifat malu yang disyariatkan. Wallahu a’lam.