Pojok  

Pojok: Sampai Kapan Kita Berhenti Berutang?

Oleh Dr Budi Santoso | Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta

Kapan selesainya? Itulah pertanyaan kita kepada diri kita sendiri atau kepada orang lain. Kita sekolah, kita bekerja, kita bepergian, kita membangun rumah, sampai kita hidup di dunia dipertanyakan kapan selesainya. Kapan kita mencapai garis finish. Sebagai tanda akhir dari segala rencana mewujudkan keinginan kita.

Orang zaman dahulu atau generasi baby boomers dan sebelumnya sangat tekun menjalani proses. Mereka seperti tidak tergesa-gesa mencapai garis finish.

Generasi ini rajin menabung, tekun menelusuri karier pekerjaannya. Dalam kepemilikan barang juga, lebih senang menabung dahulu ketimbang berutang. Mungkin kearifan lokal atau gaya Continental Belanda, yang membuat mereka bersifat lebih konservatif.

Sangat berbeda dengan generasi setelahnya, generasi yang sudah banyak berpendidikan atau belajar buku-buku ilmu pengetahuan beraliran Anglo Saxon atau Amerika. Generasi ini lebih berani menghadirkan alternatif kehidupan masa depan untuk dinikmati sekarang.

Baca Juga:  Mau Kredit Mobil Saat Sedang Krisis? Ini Tipsnya Ambil Cicilannya

Generasi ini lebih optimistis terhadap masa depan yang tidak pasti dan berani “menggadaikan” penghasilan masa depan, untuk dapat dinikmati sekarang. Mereka menghadirkan beberapa kepemilikan masa depan lebih cepat, dengan cara kredit. Sampai untuk berbagai keinginan seperti plesiran saja berani berutang atau kredit.

Hidup dalam belitan kredit, diawali sejak kita mulai lahir ke dunia. Sepanjang hidup hampir selalu berurusan dengan kredit; mulai biaya melahirkan, sekolah, menikah, rumah, piknik, mobil, sampai mati. Dan kematianlah, sebagai penyelesai segala urusan dengan kreditan.

Di zaman modern ini, banyak dari kita hidup dan bekerja hanya sebagai pembayar angsuran utang. Kita melihat deretan rumah, apartemen dan mobil di jalanan, mungkin lebih dari 50 persen masih dalam proses cicilan. Penawaran berutang terus berseliweran menembus dinding-dinding rumah, kantor, sekolah sampai rumah ibadah. Menggoda hasrat kita.

Baca Juga:  7 Kiat Sukses Penerbitan Artikel Mahasiswa

Berutang, mulai dipercaya sebagai solusi untuk kemajuan kemakmuran kita. Dan kita tidak menyadari bahwa hidup dan bekerja hanya sebagai pelunas utang.

Apakah itu salah? Berdasarkan teori dan data lapangan, meningkatnya kredit berarti meningkatkan perekonomian dan kemakmuran, itu kata ahli ekonomi.

Bagi rakyat jelata, hanya mengatakan kalau tidak kredit, kapan dapat memiliki rumah. Karena rumah butuh dihuni sekarang, karena rumah masa depan yang dibutuhkan hanya butuh ukuran 2×1 meter, alias kuburan. Ini pendapat yang masuk akal, namun bagaimana dengan pembelian berbagai barang atau jasa yang tidak mendesak?

Terus sampai kapan kita berhenti berutang?

Beberapa hari yang lalu, ada peringatan atau nasihat melalui copasan di medsos, bahwa awal bulan Sya’ban, katanya segala utang harus lunas sebelum Magrib, maka bingungkah kita? Karena cicilan rumah, mobil, motor dan lain-lain masih “menganga” hingga 5-15 tahun lagi.

Baca Juga:  Hidupkan Empatisme Diri untuk Palestina

Utang adalah utang, mau pakai cara bunga atau tidak, ya harus dibayar lunas.

Kapan selesainya ya? Mungkin ketika kita sudah berusia 55 tahun dan pensiun, sambil merenung kemudian berujar, bahwa perjuangan hidup saya sebagai pelunas utang berakhir. Sambil berdoa menanti kematian menjelang. Syukur-syukur tidak berutang lagi dengan menggadaikan surat pensiunnya. (*)