Oleh Dr. Budi Santoso
(Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta)
Membeli sambil beramal, berapa kali kita lakukan? Saya sering melihat orang beriklan di medsos dengan menjual barangnya diiringi dengan perkataan (maaf) seperti memohon “belas kasihan” atau beramal.
Membeli atau berbelanja untuk charity, amal, membantu dhuafa bahkan ada yang lebay seperti memberikan janji kapling sorga. Penjualnya mencoba merogoh simpati konsumennya dengan hal-hal emosional dan spiritualnya.
Pada banyak kasus, katanya menjual dengan cara memberi label “belas kasihan” atau hal-hal yang menyangkut spiritual banyak yang tidak berhasil. Kata orang yang ahli spiritual marketing cara tersebut keliru.
Seharusnya dalam memasarkan suatu produk, harus kembalikan ke konsep spiritual penjualnya, bukan kepada konsumennya. Misalnya, yakinkan bahwa sang penjual tidak menipu, benar timbangannya, kualitas produknya dan berbagai nilai-nilai kebaikan lainnya, yang secara universal diakui sebagai nilai-nilai kebaikan dari Tuhan.
Jadi selama orang menjual produk tidak bagus, harga mahal, dilayani dengan tidak baik, dan sarat dengan akal-akalan yang membuat kecewa. Diperkirakan tidak akan berhasil penjualannya, secara jangka panjang, meskipun diembel-embeli sebagai bagian dari sedekah, amalan atau kapling sorga, sebagai imbalan bagi konsumennya.
Katanya konsep yang benar tentang spritual marketing adalah menjual “keberkahan” dalam produknya untuk pembelinya. Produk yang tidak membuat kecewa atau menipu. Soal untungnya mau disumbangkan ya terserah saja.
Saya teringat koperasi zaman dahulu, di sebuah kantor, yang banyak menjual barang, selalu mendapat julukan sebagai koperasi “serbamahal”. Meskipun koperasi berkonsep gotong royong, anggota yang aktif berbelanja dijanjikan pembagian sisa hasil usaha, tetap saja akhirnya anggotanya tidak mau membeli di koperasi. Koperasi menjanjikan hasil di dunia berupa Sisa hasil usaha saja, dirasa kurang menarik. Kecuali koperasi memberikan fasilitas berutang.
Apakah tidak ada yang berhasil konsep berjualan dengan imbalan sedekah atau beramal? Saya kira ada juga, namun mungkin hanya sementara. Banyak konsumen enggan untuk melakukan pembelian secara berulang dengan alasan beramal, secara jangka panjang. Faktor harga, barang dan pelayanan masih tetap menjadi pertimbangan pembeli.
Maaf, memang kata orang, emak-emak sangat sensitif terhadap harga, barang dan pelayanan. Demikian pula kalau mau beramal, maunya langsung kepada penerimanya. Tidak harus berlapis dan banyak perantara dan cara. Kata emak-emak konon lebih mantep, akan mendapatkan getaran rasa bersedekah sampai tembus ke dada. Sehingga plong hatinya.
Sayapun teringat ada tetangga saya dahulu, Pak haji, pengusaha sukses, yang selalu menyisihkan hasil keuntungannya untuk membantu dhuafa, tanpa harus gembar-gembor dengan label sedekah pada setiap produk yang dijual di gerai usahanya. Prinsip Pak Haji, yang kita jual adalah produk, harga dan pelayanan, yang jujur dan amanah, bukan sedekah dan belas kasihan.
Mantap kali Abang Haji ini.