Pojok  

Pandemi Harus Melahirkan Solusi

Oleh: Annisa Salsabila Rahman | Ketua Bidang Advokasi Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Bandung

KABARINDAH.COM — Pandemi Covid-19 terus berlangsung hingga saat ini sejak diumumkan pada 11 Maret 2020, walau sebenarnya Covid-19 ini sudah ada sedari 2019 akhir di Wuhan, China.

Kemudian, Covid-19 menyebar secara tidak terkontrol ke seluruh dunia. Dampak negatif dari Covid-19 ini menimbulkan ketidaknyamanan dan gejolak sosial di masyarakat. Covid-19 ini mampu mengacaukan kegiatan-kegiatan yang bersifat urgent dan sakral.

Sehingga Covid-19 ini berdampak pada kehidupan manusia yang mengakibatkan penyesuaan terhadap pandemi Covid-19 sehingga perilaku sosial masyarakat ikut berubah.

Pemerintah pun mengeluarkan himbauan-himbauan untuk masyarakat seperti stay at home, social and physical distancing, rajin mencuci tangan, dan menggunakan masker dan lainnya.

Para pelajar yang biasanya bersekolah di kelas dan diajarkan langsung oleh guru harus digantikan dengan belajar dari rumah melalui online meeting. Para pekerja yang rutin pergi ke kantor diharuskan bekerja di rumah. Hal-hal tersebut ditujukan untuk mengurangi penyebaran Covid-19.

Lalu ketika seseorang terkena Covid-19, masyarakat cenderung memberikan stigma negatif. Stigma ini yang memberikan kerusakan pada kesehatan mental, fisik, dan penolakan pada penderita penyakit.

Semua itu mengakibatkan peningkatan pada gejala depresi dan stres. Penderita akan berpikir ketika ia mengidap penyakit ini sama artinya dia menjadi orang yang buruk dan salah sehingga berakibat pada terganggunya psikologis penderita.

Secara sosial, penderita dan keluarga merasakan terisolasi, mengalami penolakan, dan mendapatkan bullying, baik offline maupun online.

Hal ini bisa terjadi dengan gambaran seperti ini: ketika di sebuah keluarga ada yang terinfeksi kemudian kabar tersebut tersebar ke tetangga dan masyarakat, respons mereka cenderung mengintimidasi dan enggan memberikan bantuan.

Padahal seharusnya keluarga yang terinfeksi diberi pertolongan dengan saling membantu tetangga karena ruang geraknya semakin terbatas. Tentu semua itu dilakukan agar tidak ada kontak erat dengan orang lain dan tidak menyebarkan penyakit tersebut.

Bahkan ketika sudah meninggal pun mereka tetap mengalami penolakan. Sangat memprihatinkan memang.

Akhirnya stigma negatif tersebut membuat orang cenderung melakukan kebohongan ketika ditanyakan hal yang berkaitan mengenai Covid-19. Misalnya saat ditanya oleh dokter mengenai gejala-gejala dan informasi penunjang untuk validasi penyakit Covid-19.

Baca Juga:  Anak Muda Vs Orang Tua, Era Digital, dan Prestasi

Dimuat dalam berita CNN Indonesia pada 28 April 2020, terdapat dokter di Suarabaya yang meninggal akibat ketidakjujuran pasien ketika ditanyai bergejalan positif Covid-19 atau tidak.

Dalam penelitian Li, dkk., pada pengguna aktif di sosmed Weibo bahwa cemas, stres, dan penilaian resiko mengalami peningkatan, sedangkan emosi positif mengalami penurunan.

Lalu, hasil penelitian Wang, dkk., didapatkan 53,8 persen responden menilai bahwa pandemi ini memiliki dampak yang berat, 16,5 persen mengalami gejala depresi, dan juga dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perempuan rentan mengalami stres, cemas, dan depresi.

Walau sebenarnya perubahan emosi ini seperti merasa khawatir, cemas, dan stres merupakan respons biasa dalam menghadapi pandemi yang mana menjadi pertahanan diri dari ancaman yang sedang dihadapi.

Permasalahannya, jika perubahan emosi ini dirasakan secara berlebihan, maka akan mengganggu psikologis seseorang yang salah satunya menyebabkan akan menyebabkan dia mengalami depresi.

Selain perubahan emosi tadi, masyarakat juga mengalami perubahan rutinitas yang berdampak juga pada perubahan emosi dan psikologi individu masyarakat.

Di awal sekilas membicarakan perubahan kebiasaan masyarakat yang diakibatkan pandemi. Perubahan pada aspek pendidikan dimana para guru, staf, dan murid diharuskan menyesuaikan untuk menggunakan teknologi sebagai sarana dan prasanana belajar-mengajar.

Guru harus paham bagaimana dapat memanfaatkan teknologi yang mampu menunjang pembelajaran sehingga kualitas pendidikan tidak menurun.

Bagi murid tentu mereka harus membiasakan diri belajar di rumah dan dapat mengatur kegiatan rumah dan belajar. Hal ini disebut adaptasi yang dinamai Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Kedatangan pandemi Covid-19 yang mendadak ini membuat persiapan yang kurang matang karena dipaksakan oleh keadaan. Dimana murid harus memiliki gadget dan mengerti teknologi karena proses pembelajaran melalui zoom meeting, google meet, google classroom, dan sejenisnya.

Tentu perlu adaptasi karena akan sangat berbeda walau secara garis besar sama seperti kelas tatap muka. Mulai dari persiapan diri ketika menghadapi kelas secara online, peraturan yang berbeda, jadwal rutin, dan emosi yang cenderung bosan sehingga dapat mengakibatkan stres pada anak.

Memang tanggung jawab pendidikan formal di bawah tangan para pendidik. Namu, pembelajaran jarak jauh ini secara tidak langsung meminta orang tua ataupun keluarga untuk mendukung pembelajaran anak di rumah.

Baca Juga:  Pojok: Green Live, Hidup dan Lingkungan

Pembelajaran jarak jauh ini memberikan dampak positif terhadap penyebaran Covid-19. Namun, dengan persiapan yang mendadak, terdapat beberapa permasalahan besar yang terjadi pada murid atau guru.

Pertama, tidak semua murid memiliki gadget ataupun perangkat yang mendukung seperti laptop atau handphone.

Kedua, tidak semua murid mampu membeli kuota internet karena pembelajaran jarak jauh memerlukan jaringan internet.

Ketiga, guru dan staf masih kebingungan bagaimana cara memanfaatkan dan menggunakan teknologi sehingga perlu adanya edukasi mengenai cara merancang materi ajar, cara mengkomunikasikan materi ajar, dan evaluasi kegiatan belajar.

Keempat, tidak semua daerah memiliki infrastruktur yang menunjung kelancaran akses internet sehingga dalam proses pembelajaran lancar dan tidak terkendala jaringan yang dapat mengakibatkan tidak dapat memaksimalkan proses belajar-mengajar.

Pendidikan dapat bersifat dinamis sehingga dapat mengajarkan anak untuk mampu menyesuaikan dirinya sesuai zamannya karena setiap zaman tidak akan sama dengan zaman lainnya.

Sedangkan pada aspek ekonomi, masyarakat mengalami kebiasaan berbelanja. Namun penerapan himbauan untuk stay at home dan mengurangi kegiatan yang dapat menimbulkan kerumunan sehingga kegiatan di pasar ataupun tempat perbelanjaan dibatasi.

Lalu para penjual berpindah menjadi membuka toko secara online sehingga pembeli dapa berbelanja di web atau aplikasi belanja online seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, Blibli, ataupun toko pusat perbelanjaan besar membuat inovasi yaitu pelanggan setianya dapat membeli barang-barang ditoko tersebut melalui web atau aplikasi milik toko tersebut.

Tidak perlu ada kontak intens antara pembeli dan penjual sehingga penyebaran Covid-19 dapat dikurangi. Sepaham kita tahu bahwa kegiatan berbelanja di toko offline pasti menimbulkan kerumunan kemudian transaksi uang konvensional yang dilakukan juga dapat menjadi salah satu cara penyebaran Covid-19.

Mengenai transaksi uang, masyarakat terbiasa dengan transaksi uang konvensional atau menggunakan uang kertas resmi, walau memang transaksi melalui m-banking, QR Scan, dan sejenisnya yang biasanya disebut transaksi elektronik sudah ada. Namun sebelum pandemi ini tidak ada himbauan keras untuk menggunakan transaksi elektronik dari pemerintah.

Memiliki tujuan yang sama yaitu mencegah penyebaran Covid-19 melalui perpindahan barang yang memiliki indikasi Covid-19 dapat menempel pada uang kertas.

Yang jelas ketika masyarakat berbelanja di e-commerce diharuskan transaksi elektronik. Transaksi elektronik ini meliputi rekening bank yang memiliki fitur m-banking untuk kemudahan transaksi ataupun e-wallet seperti DANA, LinkAja, Shopeepay, OVO, dan Gopay.

Baca Juga:  Jack Ma, Kerja Keras, dan Nasib Pekerja di Negeri Kita

Oleh karena itu, masyarakat dituntut untuk memiliki akun-akun tersebut dan dapat memaksimalkan fitur yang ada untuk dapat bertransaksi.

Seperti sekarang, toko-toko offline menyediakan proses pembayaran melalui transfer ataupun QR kode. Hal ini sebagai bukti upaya dari kontribusi masyarakat sendiri mengenai pencegahan Covid-19 tetapi kegiatan ekonomi terus berjalan.

Walau demikian, di awal-awal pandemi banyak sekali sektor ekonomi yang mengalami kebangkrutan yang akhirnya kesejahteraan masyarakat menurun dan angka kemiskinan juga meningkat.

Kemudian, akibat himbuan tidak adanya akitvitas kerumunan dan physical distancing dalam suatu tempat, banyak sekali para tenaga kerja yang mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang tentu berakhirnya hubungan kerja ini memutuskan hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan.

Yang akhirnya banyak sekali para tenaga kerja yang menganggur dan tidak dapat menghidupi keluarganya hingga akhirnya keluarga tersebut mengalammi kemiskinan yang menjadi-jadi, lebih buruknya mengalami kelaparan hingga akhirnya meninggal.

Ketika dunia dilanda pandemi tapi kemajuan teknologi ini terus bergerak maka diharuskan masyarakat dapat menyesuaikan dirinya terhadap perubahan-perubahan sosial terutama yang terjadi untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi gangguan ataupun ancaman.

Perubahan yang terjadi yang dapat mengubah seluruh aspek kehidupan masyarakat diharapkan menjadi sebuah hal yang baik yang dapat menunjang kehidupan baru bukan sebagai penghambat.

Karena kehidupan ini bersifat dinamis, perilaku dan respons masyarakat dalam menyikapi permasalahan juga harus berpikir dan bersikap dinamis. Tentu menyesuaikan permasalahan dengan solusi yang tepat seperti tadi ketika dibatasi untuk berkerumun, maka solusi yang ada yaitu menggantikannya dengan kemajuan teknologi.

Masyarakat pun jangan terpaku dengan kesengsaraan dan ketakutan yang terjadi dan akan terjadi. Namun bagaimana kesulitan yang dihadapi dapat mendapatkan solusi melalui pemanfaatan teknologi berikut pengedukasian didalamnya.***