Memutus Rantai Kekerasan pada Anak

Oleh Dr Hj Arfiani Yulianti Fiyul MM
(Ketua Yayasan Jasmine Solusi/ Trainer Motekar Provinsi Jawa Barat/ Asesor BAN PAUD Prov. Jabar/ Dosen Pascasarjana)

 

Video berdurasi 27 detik tentang seorang anak berusia 7 tahun di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, yang disekap dan dirantai orang tua kandungnya di rumah selama tiga hari ramai diperbincangan di media sosial dan televisi. Dalam video itu, kaki sang anak dirantai di kaki meja dapur, laiknya bintang. Sungguh sangat miris dan memprihatinkan.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait membenarkan peristiwa tersebut. Komnas Perlindungan Anak menyatakan, perlakuan tersebut sangat tidak manusiawi.
Tindakan kekerasan orang tua kandung terhadap anaknya itu terungkap berkat kepedulian para tetangga. Mereka pun segera melaporkan kasus tersebut ke kantor desa setempat.

Penulis sebagai praktisi di bidang pendidikan dan pengasuhan anak sangat menyayangkan kejadian tersebut. Kenapa hal itu bisa terjadi? Apa mungkin orang tuanya menganggap anaknya nakal? Banyak kemungkinan yang membuat anak tersebut disekap dengan rantai. Namun, yang pasti anak itu telah mendapat perlakuan buruk dari orang tuanya sendiri.

Mengapa bisa terjadi? Sebenarnya mengapa anak bisa berperilaku kurang baik dan membuat orang di sekitanya tak nyaman? Lalu apa dampak anak ketika disekap rantai begitu?

Siapakah Anak Itu?

Anak, menurut bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil antara hubungan pria dan wanita. Dalam konsideran Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karuni Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.

Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Konvensi PPB tentang hak anak, yang salah satu isinya menyatakan bahwa Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembangdan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Sebagai generasi penerus bangsa, maka selayaknya anak selalu mendapat perlindungan, bukannya disia-siakan dengan hukuman -hukuman yang sangat berat, seperti terjadi di Purbalingga. Jelas sekali, anak harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan. Bahkan, anak sejak lahir hingga usia 18 tahun harus selalu dilindungi dan selalu dibuat bahagia.

Baca Juga:  Tidak Suka Melihat Orang Lain Sukses, Itu Bisa Saja Tanda ”Crab Mentality”

Seringkali, beberapa perilaku anak dianggap sebagai sesuatu kejadian yang mengganggu orang banyak, sehingga anak itu suka di beri label “anak nakal”. Kalau ditelisik lebih jauh, anak itu berkembang dengan segala kemampuannya. Berkembangnya beberapa kemampuan anak, membuat situasi berubah. Misalnya, perkembangan fisiknya membuat anak menjadi lincah.

Dan kelincahan dari gerak motorik kasar kadangkala tidak dimengerti oleh orang dewasa, dan dianggap mengganggu. Mungkin hal inilah yang terjadi menimpa anak yang disekap dengan rantai itu. Oleh karena itu, penulis akan menyampaikan beberapa perilaku anak untuk bisa ditelaah agar orang dewasa mau memaklumi ketika seorang anak melakukan hal-hal dianggap luar biasa.

Fenomena kekerasan pada usia anak 7 tahun tersebut sangat menarik untuk dibahas. Bagaimana pun juga, kekerasan itu akan berdampak pada aspek-aspek perkembangan anak dan akan berakibat jangka panjang jika tidak ditangani dengan baik. Maka perlu penanganan yang cepat dan baik untuk menghilang trauma-trauma kekerasan itu.

Berikut adalah dampak kekerasan pada anak yang harus dipahami para orang tua:

Pertama, Kekerasan Emosional. Bentuk kekerasan pada anak tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga bisa dalam bentuk lain, bisa jadi terjadi kekerasan yang dapat menyerang mental anak. Dalam hal ini bentuk kekerasan terhadap anak yang menyerang mental itu bisa beranekaragam. Sebagai contoh, kekerasan emosional yakni meremehkan atau mempermalukan anak, berteriak di depan anak, mengancam anak, dan melebeling bahwa ia tidak baik.

Jika hal tersebut sering dilakukan, maka akan membuat jiwa anak itu rusak dan trauma berkepanjangan. Anak sering dipermalukan di depan temannya. Mungkin hal itu terlihat sepele bagi orang dewasa, tapi tidak bagi seorang anak. Walaupun terkadang anak tidak memperlihatkan langsung kondisinya pada saat kejadian tersebut.

Penulis dalam berbagai kesempatan selalu mengajak para orang tua dan orang dewasa agar memperlakun anak-anak dengan baik. Seringlah lakukan kontak fisik pada anak seperti memeluknya dan menciumnya. Tahukah Anda, sikap orang tua yang jarang melakukan kontak fisik seperti memeluk dan mencium anak juga termasuk kekerasan emosional?
Apa pasal? Anak merasa tidak memiliki kedekatan pada orang tua. Jadi, jarangnya kontak fisik yang penuh kasih sayang dari orang tua kepada anak termasuk salah satu contoh dari kekerasan emosional. Lalu apa dampaknya?

Baca Juga:  Sering Tersedak? Jangan Pernah Sepelekan. Ini Bahaya dan Cara Mengatasinya

Akibat kekerasan emosional, seorang anak akan mengalami:
1. Anak kehilangan kepercayaan diri
2. Anak akan terlihat depresi dan selalu gelisah.
3. Anak akan menarik diri dari aktivitas sosial, teman-teman, atau orang tua. Sehingga anak akan jarang bermain.
4. Anak akan mengalami perlambatan perkembangan emosional terlambat, karena anak memilih banyak diam.
5. Anak akan sering bolos sekolah dengan berbagai alasannya dan menurunnya prestasi.
6. Anak akan kehilangan semangat untuk sekolah.
7. Anak akan menghindari situasi tertentu.
8. Anak kehilangan keterampilan yaitu keterlambatan perkembangan motorik-motorik yang harus berkembang pada usia anak.

Kedua, Kekerasan Fisik. Kekerasan fisik adalah salah satu jenis kekerasan yang mungkin paling sering dialami anak-anak. Seringkali, orang tua dengan sengaja melakukan kekerasan fisik kepada anak dengan maksud untuk mendisiplinkan anak. Kekerasan fisik juga kerap dilakukan untuk menenangkan anak dari segala hal yang dianggap tidak nyaman bagi orang dewasa/orang tua.

Ada beberapa kekerasan fisik yang sering dilakukan orang tua pada anak, yaitu: memukul, mencubit, menendang, membakar dengan rokok, bahkan diikat dengan rantai. Tanda-tanda kekerasan fisik yang dialami anak bisa terlihat dengan adanya cedera, lebam, maupun bekas luka di tubuh. Mungkin, tujuan awalnya untuk mendisiplinkan, namun yang pasti tindakan seperti itu akan menyakitkan hati dan fisik anak.

Ketiga, Kekerasan Seksual. Kekerasan seksual ini juga seringkali sekali terjadi pada anak-anak. Pelakunya orang dewasa. Melecehkan anak secara seksual, walaupun tidak menyentuh tubuh anak, termasuk dalam kekerasan atau pelecehan seksual pada anak. Anak yang mengalami kekerasan seksual, maka biasanya akan mengidap penyakit menular seksual. Dampaknya, anak pun akan melakukan kekerasan seksual yang sama kepada orang lain pada saat tertentu.

Keempat, Penelantaran Anak. Orang tua adalah orang yang menyebabkan anak itu lahir kedunia. Maka kedua orangtuanya wajib memenuhi kebutuhan anak-anaknya, termasuk memberikan kasih sayang, melindungi, dan merawat. Faktanya, masih banyak orang tua yang menelantarkan anaknya, bahkan kadang mengeksploitasinya. Tindakan itu termasuk ke dalam salah satu jenis kekerasan terhadap anak.

Baca Juga:  Memaknai Hari Ibu

Kekerasan seperti itu akan berdampak panjang bagi kehidupan seorang anak, seperti:

1. Anak merasa acuh tak acuh.
2. Anak akan memiliki kebersihan yang buruk.
3. Anak akan mengalami masalah pertumbuhan dan berat badannya menjadi buruk.
4. Akan akan mengalami penurunan prestasi di sekolah.
5. Anak mengalami kelainan emosional, mudah marah atau frustrasi.
6. Perasaan anak akan selalu ketakutan atau gelisah.

Yang penting untuk diketahui, tindakan kekerasan terhadap anak memiliki dampak jangka panjang, Yang sangat terburuk, anak-anak yang pernah mengalami kekerasan berpotensi melakukan hal-hal yang buruk di masa depan. Mereka, bisa melakukan kekerasan yang sama kepada keturunan-keturunannya ketika sudah dewasa. Artinya, anak yang mengalami kekerasan saat masih kecil, mungkin saja ‘melanjutkan’ hal tersebut kepada anak dan cucunya. Sungguh suatu ekosisteim hidup yang tidak baik. Sehingga kekerasan pada anak dihentikan.

Menyelamatkan anak dari segala tindak kekerasan harus dilakukan secara bersama, misalnya masyarakat sekitarnya harus lebih peka dan peduli. Negara juga harus ikut terlibat jika melihat kejadian kekerasan pada anak. Trauma-trauma dari setiap kekerasan haruslah mendapat bantuan dari psikolog atau psikiater untuk menanggulangi efeknya dalam jangka panjang.

Negara, pekerja sosial, pemerhati anak serta masyarakat harus siap mendampingi hingga tuntas. Sehingga tidak lagi muncul pelaku-pelaku baru dikemudian hari. Orang tua yang melakukan tindakan kekerasan tersebut haruslah mendapat bimbingan atau hukuman yang sesuai dengan perbuatannya. Harus ada tindakan hukum atau efek jera bagi orang tua pelaku kekerasan.

Tentu kita berharap peristiwa memilukan di Purbalingga tidak terulang lagi. Jargon “Setop Kekerasan pada Anak-Anak” jangan hanya sekadar diucapkan, tapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik di keluarga kecil maupun masyarakat luas. Wallahu a’lam bishawab.