Kabar  

Kolaborasi Lintas Profesi dan Akses Data Jadi Kunci Transformasi Farmasi

KABARINDAH.COM, Bandung – Influencer sekaligus apoteker inspiratif Sinta Apriliana Sari menjelaskan bahwa peran apoteker pada abad ke-21 saat ini telah berevolusi secara signifikan. Tidak lagi seperti zaman dahulu yang hanya berkutat di meja resep.

”Saat ini apoteker menjadi bagian integral dalam sistem pelayanan kesehatan yang berfokus pada pasien,” ucap Sinta saat acara seminar nasional bertajuk “Pharmacy Practice in the 21st Century: Challenges, Innovations, and Future Outlook” yang pada Kamis (31/07/2025).

Pelaksanaan seminar ini dalam rangka memperingati dies natalis ke-8 Himpunan Mahasiswa Farmasi (Himprofar) Universitas Muhammadiyah (UM) Bandung.

Kompleksitas penggunaan obat, regulasi yang belum optimal, dan keterbatasan akses terhadap data pasien, kata Sinta, masih menjadi tantangan besar dalam praktik farmasi modern.  “Apoteker hari ini dituntut aktif dalam tim medis, memantau terapi, memberi edukasi, hingga terlibat dalam pengambilan keputusan klinis,” jelas Sinta.

Baca Juga:  Korupsi Politik Ancam Demokrasi, Bivitri Susanti Serukan Aksi Kolektif

Di samping itu, Sinta juga menjabarkan ada beberapa tantangan utama yang akan dihadapi apoteker saat ini. Di antaranya risiko interaksi obat akibat polifarmasi, minimnya kolaborasi antarprofesi, birokrasi yang rumit, dan kesenjangan layanan farmasi di negara berkembang. “Tantangan ini diperparah dengan belum kuatnya wewenang apoteker secara klinis serta tekanan etika antara tuntutan bisnis dan keselamatan pasien,” terangnya.

Oleh karena itu, menawarkan solusi berupa strategi peningkatan kompetensi, pemanfaatan teknologi adaptif seperti telepharmacy dan e-resep, pentingnya integrasi data pasien lintas profesi. “Kita harus mendorong sistem kesehatan yang kolaboratif, digital, dan tetap berfokus pada kemanusiaan,” tuturnya.

Inovasi kefarmasian

Tidak kalah menarik, Sinta juga menyoroti inovasi-inovasi yang sedang berkembang dalam praktik kefarmasian. Misalnya saja seperti 3D printed medicine, penggunaan wearable devices, hingga pemanfaatan artificial intelligence untuk deteksi interaksi obat dan penyesuaian dosis.

Baca Juga:  Percepat Tangani Bencana, Wakil Wali Kota Sukabumi Pantau Lokasi Banjir dan Longsor

Menurutnya, apoteker jangan hanya cukup dengan ilmu yang ada, tetapi perlu terus belajar dan beradaptasi agar tetap relevan di tengah disrupsi teknologi. “Pada abad 21 ini, apoteker bukan hanya penjaga obat, tetapi penjaga kualitas hidup pasien. Kita adalah jembatan antara ilmu, teknologi, dan kemanusiaan,” pungkasnya.***(FK)