Hunian Berkonsep Cohousing, Terjangkau dan Merekatkan Komunitas!

KABARINDAH.COM – Ruang tinggal telah menjadi kebutuhan dasar manusia yang selayaknya dipenuhi. Sekarang ini, keinginan sebagian besar masyarakat urban untuk memiliki rumah idaman terhalang oleh permasalahan keterbatasan lahan dan harga pasar yang melejit naik setiap tahunnya.

Maka tak heran, jika sejumlah konsep hunian alternatif mulai menarik perhatian banyak orang.

Cohousing yang merupakan kepanjangan dari collaborative housing atau community housing telah lama berkembang sebagai konsep hunian alternatif di Eropa sejak 1960. Seiring munculnya krisis kepemilikan rumah, konsep hunian bersama ini mulai banyak diadopsi di Inggris dan Amerika Serikat.

Tak terbatas untuk pengantin baru atau kalangan milenial saja, cohousing juga efektif memperkuat interaksi sosial kaum lanjut usia. Sampai 2017 lalu Cohousing Association of America mencatat bahwa terdapat lebih dari 160 komunitas cohousing yang tersebar di 25 negara bagian.

Cohousing berawal dari masyarakat Denmark yang berkeinginan membangun lingkungan tinggal yang dekat dengan komunitas. Hal ini berkaitan dengan pola interaksi yang lebih berkelompok dan saling gotong royong. Konsep berbagi hunian seperti ini dipercaya membuat masyarakat merasa lebih aman dan bahagia karena rasa kebersamaan yang kuat.

Kathryn McCamant dan Charles Durret dalam buku Creating Cohousing: Building Sustainable Communities memaparkan bahwa konsep cohousing biasanya diorganisasi oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan cita-cita mengenai konsep ruang tinggal ideal.

Baca Juga:  Tips Bersepada Yang Aman dan Nyaman

Mereka bisa membangun rumah atau perumahan sesuai dengan kebutuhan dan selera yang sama, dari mulai tahap perencanaan sampai pembangunan rumah dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama.

Konsep “patungan” membangun rumah seperti ini mungkin relatif baru di Indonesia, namun dapat menjadi solusi atas harga rumah yang menggelembung tinggi. Tanpa adanya campur tangan pengembang, biaya pembangunan rumah pun dapat ditentukan sendiri. Kala terhambat oleh mahalnya harga material bangunan, karena dikerjakan secara kolaborasi tentunya akan lebih meringankan.

Jenis hunian cohousing sendiri tak hanya berupa rumah tapak, namun juga dapat dibangun dalam konsep hunian vertikal seperti apartemen. Selain terdiri dari ruangan utama yaitu kamar tidur dan kamar mandi, dalam rumah berkonsep cohousing biasanya terdapat salah satu fasilitas yang digunakan secara bersama-sama, seperti dapur, kafetaria, taman, dan ruang laundry.

Mengutip Idea, karena cohousing dihuni oleh satu komunitas yang biasanya memiliki kesamaan profesi atau ketertarikan tertentu, Noerhadi, arsitek dari RDMA Design, mengatakan idealnya cohousing memiliki fasilitas yang menunjang kebutuhan komunitas tersebut.

Karena kerap melakukan kegiatan bersama, maka tak jarang setiap penghuni cohousing saling membantu satu sama lain dalam hal menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

Tumbuhnya rasa kepemilikan bersama ini dicantumkan oleh Kirsten Stevens-Wood, peneliti intentional community dan cohousing dari Cardiff Metropolitan University, sebagai salah satu keuntungan tinggal dalam lingkungan yang berbasis komunitas.

Baca Juga:  Seni Pertunjukkan Kabaret World of Fantasy di Sukabumi Sedot Ribuan Penonton

Kepemilikan kolektif sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan diri setiap anggota komunitas. Mereka akan terhindar dari rasa sepi yang kerap menjangkit masyarakat yang tinggal di kota besar.

Melalui The Conversation, Steven-Woods juga menguraikan beberapa manfaat lain dari cohousing yang ternyata memiliki dampak positif pada lingkungan. Tidak sekedar berbagi ruang tinggal, komunitas cohousing umumnya berbagi sumber pangan dan energi mereka. Mereka kerap berkirim makanan dan memakai ruangan secara bersama.

Dalam penelitian Cardiff Metropolitan, ditemukan bahwa cohousing dapat menekan pemakaian energi listrik dan air sekaligus menurunkan produksi sampah rumah tangga. Hal ini juga dapat disebabkan penghuni hunian cohousing rata-rata memiliki kesadaran akan kesehatan lingkungan yang tinggi.

Kendati demikian, terdapat tantangan tersendiri saat memilih untuk tinggal di hunian cohousing. Kenyamanan bersosialisasi berpotensi mengganggu dan membatasi privasi setiap anggota komunitas. Rachel Garlick yang menjadi bagian dari komunitas cohousing Temescal Commons di Oakland, California kerap merasa risih karena tinggal berdekatan dengan tetangga.

“Kemana pun beranjak selalu ada orang lain dalam jarak kurang dari 3 meter, terkadang aku merasa sangat tidak nyaman. Hidup dengan beberapa orang saja sudah sulit, apalagi dengan banyak orang,” tuturnya pada Curbed.

Dalam komunitas cohousing, konflik bertetangga juga semakin tak terhindarkan. Meski memilih berbagi tempat tinggal atas dasar kesamaan, bukan berarti tidak terdapat perbedaan sama sekali.

Baca Juga:  Cegah Anak Kecanduan Games dan Gawai, Ini Solusinya

Garlick mengungkap ia beberapa kali menjadi bahan omongan tetangganya yang suka bergosip hanya karena hal-hal sepele yang mereka tidak sukai. Situasi ini memang dapat memicu perpecahan dalam satu komunitas. Di sisi lain, jika antar penghuni berhasil mengatasi pertikaian, justru dapat memperkuat inklusivitas di komunitas tersebut.

Mungkin memang konsep hunian cohousing tidak cocok untuk setiap orang. Setidaknya kamu perlu siap dengan gaya hidup yang bersifat lebih sosial dan intens melibatkan banyak orang. Namun sebenarnya bagaimana perkembangan cohousing di Indonesia? Apakah benar bisa sepenuhnya menjadi pilihan alternatif untuk memiliki rumah?

Komunitas Rumah Bersama sempat menggalakan konsep hunian cohousing ini di tahun 2009. Sekarang perusahaan arsitektur yang masih aktif mengembangkan komunitas cohousing adalah DFORM. Memang terdapat pangsa pasar yang potensial untuk hunian cohousing, namun menurut Managing Director ELfara Studio, Setiadi, konsep hunian bersama ini memiliki risiko yang lebih besar.