Kabar pemerintah akan memungut pajak dari pulsa dan token listrik viral di media sosial. Kebijakan itu mengundang pro dan kontra di masyarakat.
Lalu seperti apa sih sebenarnya kebijakan itu? Biar kamu nggak gagal paham, mari kita simak penjelasan dari DDirektorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) berikut ini:
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk penjualan pulsa, voucer, kartu perdana dan token listrik, mulai 1 Februari 2021.
Keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 tentang penghitungan dan pemungutan PPN serta PPh atas penyerahan/penghasilan sehubungan dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token dan voucer.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Hestu Yoga Saksama menyatakan, pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak Penghasilan (PPh) ini untuk memberikan kepastian hukum maupun penyederhanaan atas objek pajak.
“Perlu ditegaskan bahwa pengenaan pajak atas penyerahan pulsa dan kartu perdana, voucer, dan token listrik sudah berlaku selama ini sehingga tidak terdapat jenis dan objek pajak baru,” katanya.
Ia menjelaskan pungutan PPN untuk pulsa dan kartu perdana hanya dikenakan sampai distributor tingkat II (server), sehingga untuk rantai distribusi selanjutnya seperti dari pengecer ke konsumen langsung tidak perlu dipungut PPN lagi.
“Distributor pulsa juga dapat menggunakan struk tanda terima pembayaran sebagai Faktur Pajak sehingga tidak perlu membuat lagi Faktur Pajak secara elektronik (eFaktur),” katanya.
Untuk voucer, ia menambahkan, pungutan PPN hanya dikenakan atas jasa pemasaran voucer berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual voucer, bukan atas nilai voucer itu sendiri.
“Hal ini dikarenakan voucer diperlakukan sebagai alat pembayaran atau setara dengan uang yang memang tidak terutang PPN,” kata Hestu.
Sedangkan, menurut dia, pungutan PPN untuk token listrik hanya dikenakan atas jasa penjualan atau pembayaran token listrik berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual token dan bukan atas nilai token listriknya.
Di sisi lain, pemungutan PPh Pasal 22 untuk pembelian pulsa dan kartu perdana oleh distributor, serta PPh Pasal 23 untuk jasa pemasaran maupun penjualan voucer dan token listrik, merupakan pajak yang dipotong dimuka dan tidak bersifat final.
Terhadap pajak yang telah dipotong tersebut, ia mengatakan nantinya dapat dikreditkan oleh distributor pulsa atau agen penjualan token listrik dan voucher dalam SPT Tahunan.
“Dengan demikian dapat dipastikan bahwa ketentuan ini tidak mempengaruhi harga pulsa dan kartu perdana, voucer, atau token listrik,” kata Hestu.
Nah, bagaimana pendapatmu setelah informasi ini?