Oleh: Kelik NW, Kolumnis
Januari tahun 2000 awal kami bertemu. Di sebuah workshop menulis di Pusdai Bandung. Dalam kegiatan tindak lanjut, setiap sabtu kami bertemu. Awalnya banyak, kemudian menciut. Tersisa peserta hanya tujuh.
Dalam lingkar kecil biasa berlatih merangkai kata. Setiap sabtu pagi di ruang senat mahasiswa. Kami saling berbagi tulisan, saling memperbaiki kesalahan gramatika. Bila sudah dirasa cukup, kami kirimkan ke berbagai koran di nusantara. Ada yang dimuat, kebanyakan hilang tak jelas kemana.
Bekerja sebagai jurnalis tak membuatnya betah. Lebih fasih menulis opini dari berbagai khazanah. Setiap hari dia meminta pendapat tentang tulisannya. Kami pun demikian. Saling memperbaiki kemudian sama-sama kirim ke koran. Tak pernah tulisan kami dimuat berbarengan, tapi selang beberapa hari. Dibanding kami, dia lebih sering mengirim dan dimuat tulisannya.
Di samping mihrab masjid Manhajuth Thulab, mesin tik dia paling sering nyaring terdengar. Tak peduli malam atau siang. Setiap minggu dia bikin target tulisan. Minggu ini mesti tembus Galamedia. Minggu yang lain mesti tembus Pikiran Rakyat, Republika, Media Indonesia, Kompas dan koran lainnya. Dalam satu minggu, dua tulisan yang berbeda kadang terbit di dua Koran sekaligus.
Dari menulis di koran ia bisa lulus kuliah. Honor satu kali dimuat di koran bisa untuk bayar satu semester kuliah. Ia membeli telepon genggam pertamanya hasil menabung honor. Sayang, Telepon genggam Siemens itu hilang saat nonton konser di Tasikmalaya menjelang pergantian tahun.
Jangan kau kira, perjuangannya mulus. Dari setiap hari mengirim tulisan yang dimuat paling satu. Dalam sebulan bisa tiga hingga empat. Yang tidak dimuat tertumpuk ada satu atau dua dus mie instan. Kelebihannya, dia mengarsipkan tulisan yang tidak dimuatnya. Bila ada kumpulan cerpen bukan pilihan Kompas, maka tulisan-tulisannya yang tak dimuat itu jadi buku, Opini Bukan Pilihan Pikiran Rakyat.
Banyak menulis artikel, aku tantang ia menulis buku. Tahun 2005 saat aku bekerja di Penerbit Kaki Buku, terbit buku pertamanya, Success for Teen, bagaimana meraih kesuksesan di usia remaja. Naskahnya bagus tapi penjualan bukunya tidak sukses. Buku keduanya tentang panduan belajar menulis. Diramu dari makalah saat memberi pelatihan menulis di berbagai tempat.
Hingga kini telah terbit lebih dari 20 judul buku. Dari buku ajar kuliah, kumpulan essay, penelitian, hingga agama. Ia ingin seperti Hamka, ulama yang juga seorang penulis. Selama WFH ini, ia telah menyelesaikan dua buku. Salah satunya akan segera terbit. Tentang kiprah pemikiran seorang tokoh Islam berkemajuan. Tunggu saja Launching-nya
Kebiasaannya menulis ini menular pada istrinya. Mungkin materi dan metode pelatihan menulisnya berbeda dengan yang disampaikannya di kelas. Ini kelas khusus. Kamu bayangkan mereka dalam satu kamar tapi masing-masing memandang laptop. Berkutat pada ide masing-masing. Istrinya pun kini telah menerbitkan 45 judul buku…!!!
Dari menulis, capaiannya bukan hanya bisa mentraktirku makan Nasi Goreng Kismo atau beli telepon genggam. Hasil dari kebiasaan menulis, ia naik haji di usia muda, menikah dengan biaya sendiri, dan membeli rumah. Hasil tak akan mengkhianati proses. Ia yakin betul dengan nasihat sang mentor, Asep S. Muhtadi, Allah mah moal salah ngitung. Berbuat saja. Biar Allah yang menghitung dan membalasnya. Dan itu terbukti.
Tapi ia tidak jumawa. Ia bikin kampung belajar. Menularkan kebiasaan membaca dan menulis di kampung-kampung. Gerakannya ini diganjari penghargaan dari Gubernur Jawa Barat hingga Kementerian Pendidikan. Ia yakin, saat itu, tidak ada masalah dengan budaya literasi anak-anak kita. Hanya buku yang kurang dapat diakses anak-anak di kampung. Maka ia bawa buku ke kampung-kampung dan mengampanyekan membaca pada anak-anak.
Ia yang tak bisa lepas dari buku. Ialah, Roni Tabroni.