Oleh Agus Susilo Saefullah MPd
Anggota KALIMAT (Komunitas Penulis untuk Indonesia Bermartabat)
“Sungguh Muhammad telah dibunuh,” begitu teriak anak-anak seusia Nabiyullah Muhammad SAW kecil. Padahal, beliau dalam keadaan sehat-sehat saja, hanya wajahnya agak lebih pucat.
Peristiwa itu memang seperti pembunuhan. Peristiwa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ini sesungguhnya adalah peristiwa besar dalam kehidupan Nabi SAW, Jibril alaihisalam menangkap, menelentangkan dan membelah dada sang calon Nabi.
Ia kemudian mengeluarkan darinya segumpal darah beku sambil mengatakan, “Ini adalah bagian setan darimu”. Jibril lantas mencucinya dalam wadah berbalut emas dengan air Zamzam. Lalu ditumpuk kemudian dikembalikan ke tempatnya.
Peristiwa ini terjadi saat Muhammad berusia 2 atau 4 tahun. Demikian para sejarawan berbeda pendapat. Adapun Syafiyurahman Al-Mubarak Fury menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi pada usia 4 tahun. Usia saat Nabi hampir selesai disusui oleh Halimah, Ibu susuan Nabi dari Bani Sa’ad.
Dalam Al-Qur’an Allah mengisyaratkan kejadian ini dengan ungkapan, “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu.” (QS. Asy-Syarh: 1). Setelah peristiwa pembelahan dada Nabi ini, juga terjadi pembelahan dada yang kedua pada saat Malam Mi’raj Nabi ke Sidratul Muntaha.
Seorang anak yatim ini akan menjadi penerang bagi kegelapan umat, pembersih berhala-berhala yang mengotori ka’bah, dan pemberi keteladanan dalam menghamba kepada Yang Maha Kuasa. Sehingga manusia pilihan ini dibersihkan dahulu. Sapu yang bersih akan menghasilkan sapuan yang bersih.
Maka tampilah seorang yang amat berat penderitaannya dalam perjuangan mahadahsyat bagi keselamatan umatnya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah: 128)
Sang Nabi hadir dari kalangan umat manusia sendiri. Sehingga, ia dengan segala basyariahnya tak ada beda dengan siapapun. Ia yang juga merasakan lapar hingga mengganjal perutnya dengan batu. Ia yang juga kesakitan saat giginya rontok diterjang Perang Uhud. Ia yang juga menikah karena butuh sepasang kekasih menemani hidup dan jalan perjuangannya.
Ya Rasulullah
Ya Kekasih Allah
Betapa rindu hamba ini pada-Mu
Asyahdu anna Muhammadan Rasulullah
Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah
Nabi memulai dakwahnya dengan keteladanan, apa yang ia sampaikan adalah apa yang ia lakukan. Metode ini dikenal dengan Al Qudwah atau Al Uswah. Al-Uswah dalam pengertian Al-Raghib Al-Asfahani pada kitabnya “Mufradat Alfadh Al-Qur’an“ adalah suatu keadaan di mana seseorang mengikuti orang lain, dalam kebaikan, kejelekan atau kerusakan.
Adapun yang bersemayam dalam diri Nabi adalah Al-Uswah Al-Hasanah yaitu uswah dalam kebaikan. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab: 21)
Uswah juga menjadi senjata utama Nabi-Nabi terdahulu dalam berdakwah, “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu)bagi orang-orang yang mengharap (pahala)Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS Al-Mumtahanah: 6)
Suatu hari Kiai Kholil Bangkalan kedatangan seorang ibu. Ia meminta Mbah Yai untuk menyembuhkan anaknya yang kecanduan gula. Ia khawatir anaknya mengidap penyakit karena terlalu berlebihan memakan gula. “Baik, seminggu lagi ke sini,” jawab Kiai Kholil.
Satu minggu setelah itu, ibu dan anak itu kembali menghadap Mbah Kholil. Apa yang terjadi? si anak dinasihati dan qadarallah ia berhenti memakan gula secara berlebihan.
Mengapa bisa terjadi? Mbah Yai melakukan tirakat dengan tidak memakan apapun yang berbahan gula. Begitu, kata KH Abdullah Syamsul Arifin, saat mengisahkan kisah ini. Demikian dahsyat berbuat sesuatu kebaikan, berdakwah, jika dimulai dari diri sendiri. (*)