KABARINDAH.COM, Bandung – Seminar ”Living Al-Quran: Kajian Tafsir Al-Quran dan Problematika Dakwah Islamiyah di Barat” yang diadakan pada Jumat (25/10/2024) di Auditorium KH Ahmad Dahlan, UM Bandung, salah satunya membahas perbedaan mendalam antara pandangan Muhammadiyah dan Ahmadiyah dalam menafsirkan Al-Quran.
Selain menghadirkan Amir Jamaah Ahmadiyah Indonesia dan dua mubalig Ahmadiyah, narasumber dari pihak UM Bandung diwakili Wakil Dekan FAI UM Bandung Cecep Taufikurrohman. Dalam presentasinya, Buya, sapaan akrab Cecep, menegaskan perbedaan Ahmadiyah dan Muhammadiyah bukan hanya terkait furu’iyyah (cabang ibadah), melainkan menyentuh ushul al-aqidah yang dapat membawa pada kekufuran. Buya mengingatkan bahwa meskipun tampak serupa dalam aspek penampilan, keyakinan Ahmadiyah terkait akidah berbeda fundamental dengan Muhammadiyah, terutama dalam masalah kenabian.
Kekeliruan mendasar
Menurut Buya, Ahmadiyah gencar menerjemahkan Al-Quran ke dalam berbagai bahasa dunia dengan target hingga seratus bahasa. Namun, ia menunjukkan adanya kekeliruan mendasar dalam beberapa terjemahan versi Ahmadiyah yang dapat menyesatkan pemahaman Islam bagi kalangan awam. Buya menemukan beberapa kerancuan mendasar dalam terjemah dan tafsir Al-Quran versi Ahmadiyah tersebut.
”Terdapat kekeliruan etis dan metodologis dalam penerjemahan dan tafsir Al-Quran versi Ahmadiyah. Terjemahan Al-Quran versi Ahmadiyah tidak dilakukan secara langsung dari teks Arab, tetapi dari teks terjemah bahasa Inggris dan Urdu. Jadi, ini bukan terjemahan Al-Quran, melainkan terjemah dari terjemahan Al-Quran,” ujar Buya.
”Hal tersebut dapat menyebabkan distorsi terhadap makna kata dalam Al-Quran. Pasalnya, penerjemah atau penafsir tidak akan dapat menangkap makna mendalam dari setiap kalimat yang digunakan dalam bahasa Al-Quran (Arab),” tambah Buya. Selain itu, imbuh Buya, salah satu kekeliruan metodologis yang sangat serius dalam terjemah dan tafsir Al-Quran versi Ahmadiyah adalah saat menerjemahkan dan menafsirkan peristiwa penyaliban dan pembunuhan Nabi Isa (QS An-Nisa: 157-158).
”Bagaimana mungkin penerjemah dan mufasir Ahmadiyah dapat menyimpulkan bahwa Nabi Isa berhasil ditangkap dan disalib, tetapi tidak mati di tempat penyaliban? Ini kesimpulan yang sangat keliru dan menyesatkan. Sebab, ayat di atas secara tegas dan lugas menegaskan bahwa ‘mereka tidak membunuh Isa dan tidak menyalib Isa’, kok Ahmadiyah menyimpulkan bahwa Nabi Isa tertangkap dan disalib?” tanya Buya.
Simpulan tersebut, kata Buya, jelas bertentangan dengan teks ayat Al-Quran. Simpulan ini diperparah dengan penggunaan referensi tafsir Ahmadiyah. Alih-alih menggunakan tafsir-tafsir mu’tabar (yang keabsahannya diterima semua kalangan), seperti Al-Thabari, Al-Qurthubi, dan lain-lain, tegas Buya, justru penafsir Ahmadiyah lebih banyak mengutip Perjanjian Baru. “Padahal, di daftar referensi, Ahmadiyah mengklaim menggunakan tafsir-tafsir tersebut sebagai referensi,” imbuh Buya.
Salah satu contoh penafsiran yang keliru akibat penggunaan referensi yang tidak tepat tersebut, menurut Buya, yakni saat Ahmadiyah menafsirkan konsep khataman nabiyyin dalam Surah Al-Ahzab ayat 40. Kerancuan metodologis dalam terjemah dan tafsir versi Ahmadiyah tersebut, kata Buya, terlihat dari sikap tidak konsisten Ahmadiyah dalam menerapkan metode penafsiran Al-Quran yang diyakini Ahmadiyah sendiri.
”Tadi kita semua mendengarkan penjelasan dari Amir JAI bahwa di antara karakteristik tafsir Ahmadiyah adalah menggunakan sunah sebagai alat kedua untuk menafsirkan Al-Quran. Namun, faktanya saat menafsirkan kata khataman nabiyyin dalam Surah Al-Ahzab ayat 40, Ahmadiyah tidak merujuk pada penjelasan hadis-hadis sahih bahwa makna khataman nabiyyin adalah nabi terakhir, di mana Rasulullah menegaskan bahwa tidak ada nabi setelah beliau,” jelas Buya.
”Ahmadiyah malah membuat interpretasi sendiri yang sesuai dengan keyakinannya, meskipun jelas-jelas bertentangan dengan Hadits sahih,” imbuh Buya sambil menjelaskan hadis-hadis sahih yang berkorelasi dengan makna khataman nabiyyin dalam ayat di atas. Selain itu, lanjut Buya, sikap inkonsistensi metode penafsiran versi Ahmadiyah sangat terlihat dalam menerapkan kaidah bahasa Arab. Contohnya, ketika Ahmadiyah menjadikan Surah Al-Hajj ayat 75 sebagai argumen bahwa kenabian masih berlangsung.
Menurut mereka, dalam ayat tersebut ada kata-kata ”yashthafi” yang merupakan kalimat fiil mudhari yang bermakna sedang dan akan/berkesinambungan. Makna ayat ini menurut Ahmadiyah adalah Allah sedang dan akan terus-menerus memilih para utusan-Nya dari kalangan malaikat dan manusia. Dalam pandangan Ahmadiyah, kenabian belum berakhir dengan wafatnya Rasulullah.
Namun, di tempat lain, lanjut Buya, untuk membenarkan bahwa Mirza Gulam Ahmad (MGA) adalah nabi setelah Nabi Muhammad, Ahmadiyah menggunakan surah Yasin ayat 21 yang berbunyi ”wa ja’a min ahlil madinati rajulun yas’a.” Pada ayat tersebut digunakan kalimat wa ja’a (dan telah datang) kalimat fiil madhi (lampau). Tafsir versi Ahmadiyah menegaskan bahwa kata rajulun (seorang laki-laki) tersebut adalah MGA, padahal dalam ayat tersebut ditegaskan ”telah datang”, kalimat di atas menggunakan fi’il madi (ja’a) lampau. Jarak turun ayat ini ke deklarasi MGA 1.350 tahun. ”Di mana konsistensinya?” tanya Buya.
Konsep kenabian
Buya juga menyoroti kontradiksi dalam penggunaan konsep kenabian dalam Ahmadiyah. Di satu sisi Ahmadiyah menyatakan Nabi Isa telah wafat untuk membenarkan bahwa MGA adalah Al-Masih Al-Mau’ud. Di sisi lain mereka menggunakan dalil bahwa Isa Ibnu Maryam akan turun di akhir zaman untuk membenarkan pandangan mereka bahwa kenabian belum ditutup.
”Hal ini jelas kontradiksi. Lagi-lagi ini berawal dari kekeliruan Ahmadiyah dalam memaknai kata khataman yang hanya diartikan paling utama/perhiasan,” ujar Buya sambil mengutip referensi yang ia gunakan.
Dalam Al-Quran, kata khatama memiliki tidak kurang dari lima makna, termasuk bermakna penutup, akhir, dan pengunci. Ahmadiyah hanya memilih salah satu dari makna tersebut tanpa qarinah. Padahal, dalam ilmu tafsir, kalimat yang musytarak makna (bermakna ganda), selama makannya tidak saling kontradiktif, seluruh makna tersebut dapat digunakan untuk saling menguatkan.
”Dari kaidah ini, makna khataman nabiyyin adalah nabi paling utama, penghulu para nabi, perhiasan para nabi, sekaligus penutup dan pengunci kenabian sehingga tidak ada nabi lain setelahnya. inilah sumber kekeliruan makna khataman nabiyyin versi Ahmadiyah,” kata Buya mengakhiri presentasinya.
Untuk itu, Buya menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menafsirkan Al-Quran agar pemahaman agama tidak menyimpang. Buya berpendapat bahwa perbedaan pandangan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah harus didekati dengan dialog. Namun, tetap perlu memperhatikan prinsip-prinsip akidah Islam yang fundamental.***