Pojok  

Apa Jadinya Hidup Tanpa “Pemanis”?

Oleh Dr. Budi Santoso
Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta

 

Pemanis atau sweetener, baik gula tebu maupun buatan sering ditambahkan pada setiap hidangan dan minuman yang kita makan. Kenapa harus diberi pemanis? Tentu supaya manis, agar hidangan atau minuman terasa lebih nikmat ketika kita sikat.

Pemanis sebagai perasa, secara kuantitas tidak pernah banyak, namun memberikan atau mempengaruhi rasa secara keseluruhan. Makanya ketika kopi dikatakan kemanisan disebut kebanyakan gulanya, bukan kekurangan kopinya.

“Pemanis” dalam arti luas memang luar biasa. Wanita mengoles lipstik di bibir, katanya, sebagai pemanis wajah, dan berubah disebut “blepotan”, ketika terlalu banyak memoles lipstik di bibirnya.

Baca Juga:  Pojok: Transformasi dari Salah ke Saleh

Pemanis memang ya sekadar pemanis. Namun kalau tidak ada, sepertinya menihilkan kecantikan muka yang sudah cantik.

Dalam kehidupan, kita memerlukan berbagai “pemanis”. Kadang kita lebih senang mempersoalkan pemanis ketimbang intinya. Ketika ada yang dirasakan tidak pas dengan pemanisnya, seperti nila setitik rusak susu sepanci.

Kita lebih senang dengan mengobrak-abrik persoalannya ketimbang solusinya. Kita terbiasa berpikir dengan masalah, padahal apakah hal tersebut menjadi masalah atau tidak juga perlu banyak alasan untuk menjelaskannya. Banyak orang berpikir tentang “pemanis” bukan dijadikan solusi tambahan, namun sebagai masalah.

Di zaman ibu saya, setiap rumah tangga harus memiliki mesin jahit. Sebesar apapun rumahnya kalau tidak ada mesin jahit, dianggap tidak lengkap. Kalau zaman sekarang, apabila di depan rumah tidak ada mobil, sepertinya dapat dianggap sebagai “bermasalah”. Sehingga kita sering memaksakan diri untuk mengadakannya, dengan cara apapun.

Baca Juga:  Pojok: Selebrasi Sederhana Kante

Pagi ini, saya jalan-jalan berburu bubur ayam. Dan sayapun membatalkan niat membeli karena penjualnya kehabisan “pemanisnya”, berupa sambal cabe rawit yang memang rasanya sangat aduhai, pedas dan terpercaya.

Saya melupakan permasalahan lapar dan sedapnya bubur ayam. Tanpa sambalnya seperti tidak ada artinya. Kata orang bijak, jangan bermain-main dengan “pemanis” dan si manis.

Alhamdulillah nanti malam dapat nonton sepakbola lagi, semoga kita tidak mempersoalkan “pemanisnya”. (*)