Oleh Dr (C) Ade Zaenudin
Kandidat Doktor Uninus Bandung
Suatu saat Nabi Sulaiman AS dikunjungi Malaikat Maut. Tiba-tiba Malaikat Maut mengarahkan pandangannya kepada seorang laki-laki, lalu tak lama ia pun pergi meninggalkan tempat itu.
Laki-laki itu bertanya, “Wahai Nabi siapakah orang tadi?”
Nabi Sulaiman menjawab, “Dia adalah Malaikat Maut.”
Betapa terkejutnya laki-laki itu,. “Sungguh, dia tadi menatapku dengan tatapan yang sangat kuat dan tajam. Ya Nabi, aku meminta kepadamu, perintahkanlah angin untuk membawaku pergi jauh dari tempat ini menuju negeri Hindi.”
Nabi pun mengabulkan permintannya. Beberapa hari kemudian, Malaikat Maut kembali berkunjung kepada Nabi Sulaiman AS.
Nabi bertanya, “Hai Malaikat, apakah engkau pernah menatap seorang laki-laki yang datang padaku dengan tatapan yang tajam?”
Malaikat menjawab, “Itu kulakukan karena takjub kepadanya, aku diperintahkan mencabut nyawanya sesaat saja setelah dia berada di negeri Hindi, setelah waktu yang ditentukan tiba, aku pergi ke negeri Hindi tempat dia berada, lalu mencabut nyawanya”.
Kisah ini mempertegas bahwa kematian adalah sebuah keniscayaan seperti yang Allah SWT sampaikan dalam QS Ali Imran ayat 185 bahwa setiap yang bernafas akan mati, hatta Malaikat pencabut nyawa sendiri pun akan ketemu ajalnya.
Tidak ada yang bisa menolak dari tamu kematian yang waktu dan tempatnya sudah ada kepastian. Bisa saja orang yang sudah sakit kritis kemudian dibawa ke rumah sakit lalu sembuh, bukan gak jadi mati tapi memang belum waktunya mati. Tugas manusia hanya sekedar ikhtiar, selebihnya Allah swt yang punya urusan.
Tidak ada yang perlu ditakutkan, namun tetap saja ketakutan itu tidak bisa kita sembunyikan. Ketakutan itu muncul dari sebuah pertanyaan kegelisahan, apakah kita akan selamat dari siksa dan kemudian masuk surga atau sebaliknya.
Setidaknya ada dua kesiapan untuk meminimalisir kegelisahan tersebut, pertama adalah kesiapan amunisi perbekalan dalam bentuk kebajikan-kebajikan yang menjadi jejak kehidupan selama di dunia. Layaknya orang yang hendak pergi ke luar negeri dengan persiapan uang yang banyak. Pasti pede.
Kesiapan yang kedua adalah keyakinan mental spiritual bahwa Allah SWT sudah menyiapkan kehidupan lebih indah dibanding kehidupan dunia yang kita rasakan saat ini. Kesiapan ini yang mendorong optimisme untuk melakukan kebaikan.
Persoalannya kemudian adalah apakah kebaikan-kebaikan yang kita lakukan sebanding dengan kenikmatan-kenikmatan yang dijanjikan. Ini bukan persoalan perbandingan, karena mau pakai rumus apa pun tidak bisa dibanding-bandingkan. Kalau sepanjang hayat, katakan hidup seratus tahun di dunia, detik-perdetiknya kita pakai untuk ibadah, bagaimana kita membandingkannya dengan kenikmatan akhirat yang waktunya tak berbatas?
Sedekah empat miliar, apa bisa dipakai perbandingan membeli surga? Tentu susah dicerna oleh logika karena bagaimanapun tidak setara.
Rumus yang paling masuk akal adalah bahwa kenikmatan akhirat merupakan sebuah fasilitas yang dimiliki Sang Pemilik, Dia punya hak prerogatif, kepada siapa kenikmatan itu diberikan, ya untuk makhluk yang Dia senangi, yang selalu mendekati-Nya dengan cara senantiasa melakukan hal-hal yang Dia sukai.
Pelajaran kematian adalah pelajaran terbaik bagi kita, pengingat saat khilaf dan alfa menyapa, alarm dari over nikmat dunia, bahwa satu saat kita semua akan mengalaminya.
Rasulullah SAW bersabda, “Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang melenyapkan semua kenikmatan, yaitu kematian.” Wallahu a’lam. (*)