Oleh Dr. Budi Santoso
(Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta)
Beberapa hari yang lalu saya telah menulis bahwa orang cepat sadar dan menyesuaikan diri ketika menjadi kaya, daripada menyadari dirinya telah miskin. Kejadian orang mendadak kaya, mendapat ganti untung tanah di Tuban, Jawa Timur, sebagai bukti, bahwa mereka mendadak kaya.
Perilaku mereka terus berubah. Mereka berbondong-bondong membeli mobil baru. Katanya, satu desa membeli 170-an unit mobil, meskipun banyak yang belum bisa menyetir maupun memiliki garasi.
Mungkin yang penting punya dahulu, sebagai lambang kehidupannya sudah berubah. Kehidupan petani yang selama ini digeluti, akan bergeser menjadi gaya “gedongan”, gaya orang kaya. Memang kalau jadi orang kaya, suka-suka saja. Mau belanja apa saja sepertinya bebas, duit-duit dia. Kita mau bilang apa?
Coba kita lihat fenomena di kota, banyak orang kaya dan mapan, seperti pengusaha bangkrut, pegawai di-PHK akibat Covid. Namun mereka tidak serta merta langsung berubah.
Mereka masih berusaha menjaga gaya hidupnya agar terlihat secara prestise tidak berubah, meskipun dengan susah payah. Meski mereka hidup mantab, makan tabungan, ganjel sana, ganjel sini.
Berapa lama mereka mampu bertahan? Kata finansial planner, biasanya rumah tangga seorang pegawai di Amerika, katanya, harus siap uang cadangan cash untuk bertahan selama 3-6 bulan ke depan. Sebagai jaga-jaga kalau ada PHK atau masalah. Namun bagaimana keadaan sekarang? Ketika sudah setahun lebih keadaan masih suram, menganggur dan mblangsak serba belum jelas?
Sebentar lagi akan dimulai, mobil kredit mulai ditarik leasing, cicilan rumah mulai tersendat, kredit panci macet, utang koperasi ngadat dan berbagai kredit lainnya.
Karena itulah gaya hidup “Bubble”, gaya hidup bak busa sabun, atau buih soda, atau permen karet, menggelembung dan pecah. Semua biaya kehidupan dengan ngutang, katanya gaya hidup orang modern. Menggadaikan masa depan untuk hidup nikmat di masa kini.
Mereka akan mencoba menurunkan gaya hidup secara bertahap dan perlahan. Masalah yang utama bukan karena mereka tidak bisa langsung mengubah gaya hidup, namun karena mungkin urusan gengsi dan malu dengan tetangga.
Sepertinya, nanti di Tuban banyak orang akan mengganti makan tempe mendoan ke steak, burger atau spagheti. Sedangkan, di kota besar, akan mulai bergeser dari makan steak ke tempe goreng atau ikan Cere sebagai survival mode, sampai pandemi usai dan keadaan kembali normal.
Berbicara ikan Cere, atau wader memang makanan segala gaya, sepertinya bebas status. Orang kaya makan, orang biasa-biasa juga makan, seperti di warung makan ikan cere yang akan saya datangi ini. Mungkin kita harus berlatih makan ikan cere dulu, agar adaptif terhadap keadaan yang berubah.
Memang sedap bener nih, nasi putih, gorengan ikan Cere, gorengan jengkol dan sambel goang, sungguh maknyuss. Sebaiknya mungkin soal gaya hidup tidak usah dipikir, serius-serius amat ya. Kita susah juga yang susah kita sendiri.
Tetap semangat dan sehat.