Oleh Mia Sari Novianti, MPd
Magister PAI STAI Sukabumi
“Setiap insan pasti pernah merasakan suka dan duka, oleh karena itu jadikan sukamu adalah syukur dan dukamu adalah sabar”. (Ikrimah)
Ketika mencari nafkah merupakan tugas suami, bukan berarti seorang wanita tidak boleh mencari nafkah. Apalagi jika ia harus membantu adik-adiknya sekolah, orang tuanya yang miskin, suaminya yang berpenghasilan kurang, atau mungkin dia adalah seorang janda yang harus biayai anaknya.
Oleh karena itu, tidak ada larangan bagi seorang wanita mencari nafkah. Ada sebagian yang berpendapat bahwa istri tidak perlu bekerja, mereka harus qana’ah atas pemberian suaminya sebagai rezeki untuk keluarga. Tetapi apabila semua orang berpikiran seperti itu, siapa yang akan menjadi guru? siapa yang akan menjadi dokter kandungan? siapa yang akan menjadi perawat, yang merawat pasien perempuan, yang perlu untuk memandikan?
Pada masa risalah Islam turun, telah digambarkan bagaimana kehidupan Khodijah, istri pertama Rasulullah, yang menjadi saudagar kaya yang artinya memiliki pekerjaan sebagai seorang wanita karier. Ada lagi seorang sahabiyah yang bekerja di penyamakan kulit dan juga dua putri Nabi SAW yang bekerja menggembalakan domba ayah mereka.
Di sini akan dijelaskan berbagai hal yang harus diperhatikan oleh seorang Muslimah jika hendak bekerja. Terdapat aturan-aturan tertentu bagi mereka dan aturan tersebut bukan untuk membatasi gerak mereka melainkan untuk kemaslahatan mereka.
Pertama, mendapat restu dari kedua orang tua. Karena restu orang tua merupakan doa yang mustajab atas dasar keridhaan dan doa kesuksesan bagi anaknya.
Kedua, mendapat izin suami. Izin suami adalah yang pertama dan utama. Seperti dalam Hadis Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, “siapa pun wanita yang keluar dari rumah suaminya tanpa izinnya saya segala sesuatu yang ada di bawah matahari dan rembulan melaknatnya sampai suaminya Ridha kepadanya”. (HR Dailami).
Ketiga, tidak melanggar kodrat wanita. Yakni pekerjaan yang tidak bertentangan dengan kodrat sebagai seorang wanita dan pekerjaan yang dihalalkan oleh agama. Contohnya seperti tempat bekerja yang menjaga adab atau etika, berteman dengan kawan-kawan yang sholehah yang bisa menjadi pemicu meningkatnya keimanan.
Keempat, dapat mengatur waktu dengan baik. Artinya, ia mampu membagi waktunya untuk bekerja, beribadah dan mengurus keluarga. Sebab orang yang pandai mengatur dirinya sendiri dan bisa menghargai waktu orang lain apapun yang dikerjakannya tidak akan sia-sia dan akan bermanfaat bagi dirinya dan terlebih bagi orang lain. Ketika waktunya dapat diatur dengan maksimal, maka akan terjadi keseimbangan aktivitas antara keluarga dan pekerjaannya.
Kelima, seorang Muslimah hendaknya menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh agar tidak mudah stres. Keputusan apapun yang di ambil, harus ikhlas dan dijalani dengan penuh syukur dan gembira. Jadikan waktu untuk cari nafkah tersebut sebagai amal kebaikan, karena barangsiapa yang merasa bergembira karena amal kebaikannya dan bersedih karena amal keburukan nya maka ia adalah seorang yang beriman (HR Tirmidzi).
Enam, pilih pekerjaan yang safety. Lihatlah dari jarak antara kantor dengan rumah. Pilihlah pekerjaan yang disukai dan dikuasai, sehingga tidak menjadi beban dalam mengerjakannya. Artinya pekerjaan yang dipilih harus dapat menjaga keamanan fisik dan juga keamanan rohani.
Wallahu a’lam bishawab. (*)