KABARINDAH.COM, Bandung — Wakil Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Bandung Cecep Taufikurrohman menegaskan bahwa Al-Quran secara tegas mengangkat derajat wanita dan menghapus tradisi jahiliah yang merendahkan perempuan.
Hal itu ia sampaikan dalam Kajian Gerakan Subuh Mengaji Aisyiyah Jawa Barat yang digelar pada Minggu (26/10/2025).
Buya Cecep—begitu akrab disapa—menilai tema ini sangat relevan di tengah berbagai tuduhan yang menyudutkan Islam sebagai agama yang diskriminatif terhadap wanita.
Cecep menjelaskan bahwa tuduhan-tuduhan tersebut, biasanya bersumber dari orientalis Barat yang sejak awal getol mengkaji Islam, tetapi didasari oleh kebencian mereka terhadap Islam, bukan mencari kebenaran. Meskipun demikian, banyak juga orientalis yang tetap objektif dalam mengkaji Islam.
Ironisnya, lanjut Cecep, sebagian pemikir muslim justru mengamini pandangan orientalis yang tidak objektif tersebut sehingga muncul gerakan feminisme liberal yang menafsirkan Al-Quran sesuai hawa nafsu mereka, dan bukan karena kebutuhan zaman, melainkan karena kebencian terhadap ajaran Islam.
”Di kalangan mufasir, perubahan tafsir Al-Quran adalah hal yang wajar dan sangat biasa, sebab tafsir manusia bisa ketinggalan zaman. Tafsir adalah karya manusia, bisa keliru dan bisa berubah. Tetapi, Al-Quran adalah firman Allah yang mustahil salah atau berubah,” ujar dosen jebolan Universitas Al-Azhar Mesir tersebut.
Ia menambahkan, kritik terhadap tafsir harus dilakukan dengan semangat ilmiah, bukan dengan kebencian.
Lebih lanjut, Buya Cecep menegaskan bahwa perbedaan mendasar antara tradisi keilmuan Islam dan orientalisme Barat terletak pada niat dan objektivitas.
Menurutnya, kritik tafsir dalam Islam lahir dari cinta terhadap kebenaran, sedangkan orientalisme sering kali dibangun atas dasar kebencian yang menutupi kejujuran akademik.
Lebih jauh Buya Cecep juga menggambarkan kondisi wanita pada masa jahiliah yang sangat tertindas. Saat itu, anak perempuan dianggap aib hingga dikubur hidup-hidup, wanita tidak memiliki hak waris, diasingkan saat haid, bahkan dianggap sebagai barang yang dapat diwariskan.
”Poligami dilakukan tanpa batas dan wanita tidak punya hak menolak perlakuan suami. Tradisi inilah yang dihapus oleh Islam melalui wahyu Al-Quran,” tegasnya.
Buya Cecep menjelaskan bahwa turunnya Al-Quran membawa revolusi besar terhadap kedudukan wanita. Islam memberikan hak waris, kehormatan, dan perlindungan atas martabat perempuan sebagaimana tertulis dalam surah An-Nisa, At-Talaq, Al-Ahzab dan lainnya.
Ia juga menjelaskan, di antara ajaran Al-Quran yang sering dianggap mendiskriminasikan Al-Quran adalah tentang hak waris wanita yang hanya setengah hak pria.
Untuk itu, ia menegaskan bahwa keadilan dalam Islam tidak harus berarti persamaan mutlak. Namun, proporsionalitas sesuai dengan peran dan tanggung jawab sebagaimana dijelaskan dalam QS An-Nisa ayat 11 dan 32.
Buya Cecep juga menyoroti perintah menjaga aurat dalam QS An-Nur ayat 30–31 sebagai bentuk perlindungan terhadap kehormatan wanita. Islam memerintahkan laki-laki dan perempuan menundukkan pandangan serta menutup aurat sesuai ketentuan.
”Semua ini bukti bahwa Islam memuliakan perempuan, bukan mengekangnya seperti anggapan sebagian kalangan Barat,” ujarnya.
Oleh karena itu, Buya Cecep menajak umat Islam memperkuat pemahaman Islam secara benar, terbuka, ilmiah, dan menjaga kemuliaan perempuan dengan ilmu, iman, dan sikap saling menghargai.***(FA)











