Oleh Zaini Maki MPd
Magister STAI Sukabumi
Menstruasi atau haid merupakan hal istimewa yang hanya khusus dimiliki oleh wanita. Hal tersebut menjadikan wanita kontradiktif dengan laki-laki dalam perspektif hukum.
Dalam konteks ini, tentunya Islam mengatur segala hal yang berkaitan dengan wanita, terutama wanita yang sedang haid. Salah satu bentuk syariat tersebut yaitu bagaimana status hukum wanita haid membaca Al-Qur’an.
Permasalahan tersebut termasuk kategori “khilafiyah”, dimana para ulama berbeda pendapat berdasarkan hasil ijtihad masing-masing, sehingga ada yang mengharamkan dan ada juga yang membolehkan. Kenapa bisa demikian? Karena tidak ada dalil yang qath’i (pasti) secara tegas baik di dalam Al-Qur’an ataupun Hadis.
Adapun pendapat yang mengharamkan, mereka berdalil dengan hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Abdullah Ibn Umar. “Tidak diperbolehkan bagi orang yang junub dan orang yang haid untuk membaca sesuatu dari Al-Qur’an,” (HR Tirmidzi).
Namun hadis ini dikategorikan kepada hadis dha’if. Selain itu, mereka yang mengharamkan berargumen melalui qiyas tentang pelarangan membaca Al-Qur’an kepada wanita yang sedang haid diqiyaskan kepada orang yang sedang junub. Dalil ini juga dianggap lemah, karena pengqiyasan ini dianggap kurang pas, karena antara haid dan junub ada beberapa perbedaan, antara lain yaitu; 1) Orang junub bisa mandi seketika, sedangkan yang haid tidak bisa, 2) Orang yang haid bisa melakukan ihram haji di Arafah, sedangkan orang yang junub tidak bisa. Di samping itu juga hadis yang melarang orang junub membaca Al-Qur’an itu masih kontroversi (diperselisihkan) kesahihannya.
Pendapat tersebut didukung oleh ulama Madzhab Hanafi, Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya, dan Imam Ahmad dalam satu riwayatnya. Sedangkan dari kalangan sahabat yang mendukung pendapat ini adalah Umar, Ali dan Jabir. Adapun dari kalangan tabi’in adalah Hasan Basri, az-Zuhri, an-Nakha’i, dan Qatadah.
Para ulama yang membolehkan, salah satunya Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Bari jilid 1 hal. 407 menjelaskan maksud Imam Bukhari; “pendapat yang lebih baik apa yang dikemukakan Ibnu Rasyid mengikuti pendapatnya Ibnu Batthol dan yang lainnya”. Yaitu pendapat yang menjelaskan bolehnya membaca Al-Qur’an bagi wanita yang dalam keadaan haid dan junub.
Ini didasarkan dari hadits Siti Aisyah RA. ketika melaksanakan ibadah haji, Siti Aisyah dalam keadaan haid, dia membaca dzikir, talbiyah dan do’a. Dzikir disini termasuk membaca Al-Qur’an kecuali thawaf dan shalat beliau tidak melakukannya. Begitu halnya boleh membaca Al-Qur’an bagi yang junub karena hadats junub lebih besar dari hadats haid.
Adapun yang melarang membaca Al-Qur’an dalam keadaan haid dengan tujuan dzikir itu tidak ada perbedaan, tapi kalau tujuan ibadah maka perlu ada dalil yang mengkhususkannya. Imam Bukhari berpendapat bahwa ulama yang membolehkan seperti Imam Thabari dan Imam Abu Dawud membaca Al-Qur’an bagi yang haid itu mengambil dalil dari hadits sebagai berikut: “Konon Rasulullah senantiasa dzikir setiap saat”.
Hadis ini bersifat umum karena dzikir lebih umum dari pada membaca Al-Qur’an dan yang lainnya. Perbedaan antara dzikir dan membaca Al-Qur’an itu terletak pada kebiasaan. Apa yang dikemukakan Ibnu Hajar mengenai penjelasan dari perkataan Imam Bukhari tentang boleh membaca Al-Qur’an bagi wanita yang haid itu jelas dan bisa dijadikan dalil. Hadits Nabi tersebut sebagai berikut: Rasulullah SAW berkata kepada Siti Aisyah; “lakukanlah segala amal-amalan haji kecuali thawaf sampai kamu suci dari haid”.
Hadits diatas menunjukkan boleh membaca Al-Qur’an bagi wanita yang sedang haid sebagaimana yang dilakukan Siti Aisyah dalam keadaan haid ketika ibadah haji karena membaca Al-Qur’an termasuk salah satu amalan haji. Tidak ada hadits shahih yang menjelaskan larangan membaca Al-Qur’an bagi wanita yang haid dan hadits diatas berlaku umum sampai ada dalil/hadits yang kualitasnya shahih yang mengkhususkannya.
Sebagaimana hadis di atas bersifat umum ada juga hadis lain sebagai berikut: Dari Siti Aisyah riwayat Bukhari Muslim dari Bahi dari ‘Urwah dari Siti Aisyah beliau berkata; ”Rasulullah Saw. selalu dzikir setiap saat”.
Dari hadits ini menunjukkan bahwa Nabi tidak melarang membaca Al-Qur’an baik ketika sedang haid atau junub karena membaca Al-Qur’an termasuk dzikir. Kata أحيان bentuknya nakirah diidhofatkan dengan isim domir ma’rifat itu menunjukkan keumumannya sebagaimana kaidah Ushul Fiqh. Pengarang kitab Maraqi As-Su’uud mengatakan kalimat tersebut termasuk pada kaidah Ushul باب العام ذاكراً ما يفيد العموم: disebutkan secara umum mengandung maksud yang umum pula.
Ketika hadits itu bersifat umum maka tatap kepada keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkannya. Hadits yang melarang membaca Al-Qur’an dalam keadaan junub itu semuanya perkataan sahabat/hadits mauquf. Sedangkan hadits yang membolehkannya itu berasal dari perkataan Nabi langsung/hadits marfu’. Maka tidak bisa hadits mauquf mengkhususkan hadits marfu’ yang bersifat umum. Tidak sah perkataan sayyidina Umar dan Sayyidina ‘Ali mengkhususkan hadits dari Siti Aisyah.
Kalau dianggap perkataan Sayyidina Umar dan Sayyidina ‘Ali ini tidak bertentangan dapat dijadikan dalil, tapi kenapa Ibnu ‘Abbas menentangnya dan beliau membolehkan membaca Al-Qur’an baik bagi orang yang junub ataupun haid. Ini menunjukkan bahwa hadits yang membolehkan haditsnya shahih dri Nabi kalau tidak demikian tentunya Ibnu Abbas mengambil hadits Sayyidina Umar dan Sayyidina ‘Ali.
Di antara ulama-ulama yang membolehkan membaca Al-Qur’an dalam keadaan haid yaitu: Ulama Malikiyah, Zahiriyyah, Syafiiyyah dalam satu riwayatnya (dalam qaul qadim) dan Hanafiyah ada salah satu riwayatnya, Ibnu ‘Abbas RA, Imam Thabari, Imam Abu Dawud, Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnu Mundzir dan Ibnu Hajar.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa status hukum wanita haid membaca Al-Qur’an itu masih dalam wacana khilafiyah. Akan tetapi, dari pendekatan dalil, pendapat pertama yang mengharamkan masih lemah, karena hadis-hadis yang dikemukakan masih dinilai Dhai’if dan tidak dapat dijadikan hujjah dalam bidang hukum.
Padahal dalam mengharamkan sesuatu itu harus dibutuhkan dalil, sebagaimana Imam as-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar juz 1 halaman 285: “dengan tidak adanya dalil yang shahih maka hukum dikembalikan kepada “al-Bara’ah al-Ashliyah”, yaitu kebolehannya. Selanjutnya, seorang wanita masa kini banyak yang menjadi guru Al-Qur’an, seorang penghafal Al-Qur’an siswa yang mengikuti ujian, dan sebagainya. Jika hal tersebut dilarang, maka akan banyak hal yang terbengkalai.
Wallahu a’lam bissawab. (*)