Rendahnya Royalti Musik di Indonesia, Ganggu Iklim Kreativitas Musisi

KABARINDAH.com – Musisi sekaligus Ketua Umum Lembaga Manajemen Kolektif Perlindungan Hak Penyanyi dan Pemusik Rekaman Indonesia (LMK PAPPRI) Dwiki Dharmawan mengatakan tarif royalti musik di Indonesia relatif rendah.

“Selama ini tarif royalti sudah dibayar oleh para pengguna meskipun lebih banyak yang belum melaksanakan kewajiban bayarnya. Indonesia masuk dalam kategori rendah membayar royalti, masih di bawah Singapura dan Malaysia,” kata Dwiki kepada ANTARA pada Kamis.

Ia mengatakan sebenarnya royalti musik sudah jelas diatur di dalam peraturan dan konvensi internasional. Dengan kata lain, pembayaran royalti bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga di seluruh dunia.

Hal senada juga diungkapkan musisi Badai eks Kerispatih. Dari sudut pandang musisi, katanya, tarif royalti musik yang telah ditetapkan sudah cukup murah.

“Misalkan, per bangku per tahun itu Rp60.000, katakanlah ada 30 kursi di suatu kafe, berarti Rp60.000 dikalikan 30 bangku, dan itu kan hanya dibayar per tahun,” ujar laki-laki bernama lengkap Doadibadai Hollo itu.

Baca Juga:  Ridwan Kamil: Yuk Bangun Peradaban Baru dengan Menghidupkan Ekonomi Kreatif

Badai menekankan suatu karya cipta juga harus dilihat dan ditinjau dari segi esensinya, seperti tingkat kelegendarisan, sumber inspirasi, pengaruhnya terhadap masyarakat, dan sebagainya.

“Masalah royalti ini kan sudah masalah lama, UU Hak Cipta tahun 2014 sudah mengatur hak ekonomi pelaku pertunjukan. Menurut saya, seharusnya hal ini sudah dipahami sejak lama,” katanya.

Sementara itu, Dwiki menyebutkan PP No. 56 tahun 2021 terkait kewajiban pembayaran royalti bukanlah hal baru. Tanpa PP, katanya, semua telah diatur dalam UU Hak Cipta No. 28 tahun 2014.

“Yang baru di PP itu hanyalah soal adanya Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) yang dikelola pihak ketiga dengan memotong 20 persen dari royalti untuk operasional LMKN dan biaya investasi,” ujarnya.

Dwiki mengatakan nantinya hak royalti diberikan untuk pencipta lagu, penyanyi pemusik, dan produser rekaman. Para penerima hak ini memberi kuasa kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Sementara royalti akan dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan LMK berdasarkan kuasa tersebut.

Baca Juga:  Mantap! Tim Mahasiswa Fakultas Teknik UI Buat ToothBites, Pasta Gigi Berbentuk Permen

“Tarif royalti itu ditetapkan melalui kesepakatan dengan para asosiasi pengusaha pengguna. Tarif royalti hotel dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Tarif royalti broadcast dengan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI). Tarif royalti karaoke dengan Asosiasi Pengusaha Rumah Bernyanyi Keluarga Indonesia (APERKI),” ujarnya.

“Demikian juga mall dan lain-lain, disepakati melalui pertemuan yang berulang kali dengan asosiasi sehingga disepakati tarif royalti yang kemudian ditetapkan dengan Permenkumham,” lanjutnya.

Sebelumnya pada Rabu (8/9/2021), Ketua Umum Aprindo Rou Nicholas Mandey bersama sejumlah asosiasi pengusaha lain bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartanto untuk membahas sejumlah permasalahan yang dialami pengusaha di tengah pandemi COVID-19, salah satunya terkait royalti musik yang diputar di pasar swalayan.

Roy mempertanyakan mekanisme perhitungan royalti musik dan berharap agar ada pengaturan ulang. Roy berpendapat jika perhitungan didasarkan pada luas gerai maka nilainya menjadi signifikan. Selain itu, pendengar musik hanyalah pelanggan yang berjalan di gerai ritel, bukan termasuk produk-produk yang dipajang.

Baca Juga:  Sarat Nilai Kepahlawanan, Begini Arti Lagu Yamko Rambe Yamko Asal Papua

“Lembaga Manajemen Kolektif Perlindungan Hak Penyanyi dan Pemusik Rekaman Indonesia (LMK PAPPRI) berpendapat apa yang disampaikan pengusaha kepada Presiden tentu adalah peninjauan yang terkait dengan dampak pandemi. Dan itu tentunya dapat dibicarakan bersama dengan LMK dan LMKN,” kata Dwiki.

Sementara Badai berpendapat saat ini semua bisnis tengah mengalami penurunan bahkan tiarap di tengah pandemi. Namun ketika berbicara tentang hak cipta atau penghargaan dalam karya cipta, permasalahan royalti harus dilihat dari dua sisi sebab semuanya akan membentuk suatu ekosistem.

“Menurut saya sudah saatnya kita semua bisa bersinergi. Jadi, musisi punya karya yang bisa dipentaskan, mereka juga bisa menghargai karya tersebut,” pungkas Badai.