Pojok  

Filosofi Bahagia: Menghirup Rezeki di Pagi Hari

Oleh: Sukron Abdilah, Penulis Buku, Aktivis Muda Muhammadiyah

KABARINDAH.COM – Cobalah gunakan hari ini untuk merasakan nikmat kehidupan yang Allah berikan pada kita. Sisakan waktu untuk sejenak menghirup segarnya udara pagi, dan nikmatnya sinar matahari. Silakan jalan-jalan barang sebentar saja.

InsyaAllah Anda akan merasakan begitu besarnya rezeki yang Allah berikan pada kita. Mulai dari hidung yang masih berfungsi, hingga kaki dan tangan yang masih dapat digerakkan. Inilah rezeki sesungguhnya. Rezeki kesehatan!

Bagi saya rezeki adalah segala sesuatu yang diberikan kepada kita berupa kenikmatan material, kenikmatan iman, kesentosaan jiwaa, sampai kesehatan tubuh kita.

Coba bayangkan oleh Anda bila saja di pagi yang indah ini Anda sedang sakit, tentunya segala yang kita lakukan nggak enak dirasa. Mau menghirup segarnya udara pagi, hidung kita meler. Mau berjalan-jalan sebentar saja, kaki-tangan kita sedemikian kaku dan kikuk. Hati kita juga tidak mood melakukan segala aktivitas.

Hari ini, mari kita berefleksi tentang kenikmatan Pagi hari. Selamat menghirup udara pagi. Pastikan pake kayu putih kalau Anda sedang mampet hidungnya. InsyaAllah pagi hari di hari ini akan menjadi hari terindah dalam hidup kita.

Anda akan merasakan bahwa keagungan Tuhan mengejawantah di hari Sabtu ini, bila merasakan nikmat kesehatan sungguh tak terkira besarnya.

Sekeras apa pun kehidupan yang menghantam kita, harus dihadapi dengan lapang dada. Istilahnya, kita harus selalu sabar dan tabah. Namun, sabar dan tabah tidak berarti kita berpangku tangan ketika ada lilitan masalah.

Baca Juga:  Kesulitan Menulis Artikel Ilmiah

Manusia, dengan keterciptaannya yang mendekati sempurna dan terbaik dibandingkan makhluk-makhluk lain, di jiwanya tertanam daya tahan untuk menerima apa yang menimpa. Sepahit apa pun itu.

Lantas, apa kaitannya dengan syukur dalam hidup ini? Syukur, bagi saya tidak hanya berkaitan dengan kesenangan. Ketika kita kesusahan pun, manusia sabar dan tabah akan selalu memandang kehidupan sebagai wujud kasih sayang Tuhan.

Sehebat apa pun persoalan yang melilit kehidupannya, akan disikapi dengan rasa syukur. Terma syukur, artinya adalah luapan rasa terima kasih seorang hamba kepada Tuhan atas segala yang diberikan-Nya.

Dalam kehidupan sufi, ketika kita tidak pernah berada pada kondisi kesusahan, tentunya akan membuat kita tidak pernah bersyukur.

Dengan kesulitan hidup, maka ketika kesenangan hadir, luapan terima kasih akan lebih khidmat dan khusuk. Karena itu, bergembiralah kalau hari ini sedang kesulitan; karena seperti difirmankan Allah, “dibalik kesulitan ada kemudahan.”

Begitulah kawan. Kalau kita sedang dalam kondisi kemudahan, maka persiapkanlah diri untuk menghadapinya dengan sabar dan tabah. Dengan begini, kita akan mampu menjadi manusia yang selalu bersyukur di setiap kondisi. Apa pun itu. Saat kesusahan maupun saat kemudahan menghampiri kita.

Baca Juga:  Pojok: Indonesia Kehilangan Tawa

Almarhum Kuntowijoyo, di dalam buku dramanya bertajuk “Topeng Kayu” (Bentang Budaya, 2001: 9) menampilkan tokoh menarik, yakni seorang Juru Kunci. Ia adalah seorang manusia yang berprofesi berat karena memiliki hiburan yang unik, selalu bergelut dengan “pemaknaan” akan janji-janji spiritual.

Pada sebuah dialog antara dirinya dengan para pelancong yang berkunjung ke tempat sakral untuk mencari hiburan.

Tentang hiburan yang sejati. Apakah hiburan itu?”, ujar sang Juru Kunci filosofis. “Orang lapar hiburannya roti. Orang miskin hiburannya rezeki. Orang sakit hiburannya sehat. Orang kesepian hiburannya kawan. Orang putus asa hiburannya harapan. Orang lumpuh hiburannya pertolongan. Orang mati hiburannya sorga.”

Apa yang saya kutip di atas dapat memberi pelajaran hidup. Naskah drama karya Kunto tersebut merupakan kritik terhadap kekuasaan, nafsu dan keserakahan membabibuta. Kunto, yang juga seorang sastrawan yang banyak melahirkan puisi sufistik, seperti diungkapkannya pada kata pengantar buku tersebut, menulis drama ini untuk mengkritik kekuasaan setan sehari-hari yang kerap kita taati secara taqlid.

Kita seolah gagap mengikuti apa yang dikatakan orang lain meskipun bertentangan dengan prinsip. Kita begitu mudah menyembah berhala duniawi, yang memancarkan kenikmatan sesaat. Kita begitu yakin bahwa hidup sukses kini, merupakan buah hasil kerja keras sendiri. Kita seolah menyombongkan diri sembari menepuk dada tatkala keberhasilan diperoleh.

Baca Juga:  Ushuluddin, Munaqasyah dan Produk Teknologi

Namun, sekali lagi, Tuhan, seolah dikubur hingga ke alam bawah sadar. Padahal tanpa peran-Nya keberhasilan dan kesuksesan yang kita raih tak akan pernah berkah.

“Orang miskin hiburannya adalah rezeki.”

Begitulah kutipan drama yang saya sukai.

Rezeki, bagi orang miskin telah menjadi menu ketika pembicaraan dilakukan. Rezeki terkait erat dengan hal-hal yang bersifat material. Kendati saya lebih memahami tidak hanya bersifat material, namun tetap bagi si miskin rezeki melulu berkaitan dengan sandang, papan, dan pangan.

Si miskin yang terus mengumbar nafsu keserakahannya, akan terus berdoa kepada-Nya untuk diberikan rezeki berlimbah. Dia akan terus meminta kebutuhan jasadi.

Memang betul kalau meminta rezeki seperti yang demikian tidak dilarang. Bukan sesuatu yang tabu. Malah saya yakin bahwa Tuhan akan sangat senang dan gembira ketika kita butuh selalu meminta pemenuhan hanya kepada-Nya.

Namun, satu hal yang kerap kita lupakan: KITA MELUPAKAN HIBURAN SPIRITUAL. Hiburan yang telah dilakukan oleh para nabi dalam sejarah pembentukan Agama-agama di dunia.

Kita meninggalkan Tuhan ketika diri ini sedang menghibur diri dengan hal-hal duniawi. Ingat Innallaha Ma’ana!InsyaAllah rezeki yang kita cari tidak hanya bersifat material, namun juga berdimensi spiritualitas.