Pojok  

Dalam Kegelapan Hidup, Selalu Ada Setitik Sinar

Oleh Dr. Budi Santoso
(Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta)

KABARINDAH.COM — Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00. Kang Wawan sibuk membereskan sisa dagangannya di etalase warung makannya. Wajahnya terlihat “jutek” dan kurang bahagia.

Tidak seperti dua hari sebelumnya, ketika jam 12.30, dagangan sudah ludes, habis terjual. Wajahnya semringah.

Dalam masa pandemi memang berdagang susah ditebak, kadang laris kadang “amsyoong” atau buntung. Bagi Kang Wawan, masalahnya adalah kalau laris dapat meraup untung sekitar 30 persen dari modal. Dan kalau bersisa seperti kemaren sore, bisa menyisakan dagangan 40 persen.

Saya memahami perasaan kang Wawan. Dia sudah pusing, memikirkan butuh berapa lagi modal yang tergerus, kalau kebanyakan tidak lakunya ketimbang habisnya.

Baca Juga:  Guru, Ucapan Terima Kasih dan Kenangan Sepanjang Masa

Kang Wawan tidak sendiri. Ribuan warung model UKM banyak yang rebah, “brodolan” modalnya. Menombok modal saban hari.

Namun kemarin, saya juga melihat ada anomali terjadi, dari Restoran Padang “Minang Jaya”. Pemiliknya membuka restoran 3 bulan yang lalu, ternyata laris luar biasa.

Jarang pedagang kuliner yang dapat hidup dan berkembang dalam waktu tiga bulan. Warungnya di sebuah kompleks ruko ukuran 5×12. Bersih dan terang, nampak seperti restoran kelas menengah.

Pagi itu pembelinya ngantri, banyak yang membungkus, dan umumnya dari kalangan pekerja sekitarnya, seperti montir dan pembantunya, serta buruh. Dan katanya itu terjadi setiap hari. Sebuah pemandangan yang langka di sebuah warung Padang dengan penampilan seperti itu.

Sebuah konsep dagang yang ditawarkannya, adalah harga murah, sehingga kaum pekerja “kasar” yang biasanya makan di warteg sekarang berani belanja di warung Padang. Meskipun hanya berlauk gulai telur dan tempe goreng.

Baca Juga:  UM Bandung dan Dinas Koperasi UKM Sepakati Kerja Sama Berdayakan UMKM

Warung ini berani menawarkan harga murah, beradu “head to head” dengan warteg. Dan berhasil “menyalip” restoran Padang yang sudah ada 10 tahun yang lalu, yang berada di belakang rukonya

Hasil ngobrol dengan pegawainya, ternyata restoran Padang ini, Padang “palsu”. Pemilik dan pemasaknya dan semua pegawainya, tidak ada yang orang Minang. Semua asli orang Jawa, asli Purworejo. Pantas saja ada tempe di warung Padang.

Ada pepatah dalam kegelapan hidup ada saja setitik sinar terang. Siapa pandai memahami pasarnya dan dapat mensiasatinya seperti itulah yang dapat survive.

Memang kalau bicara rasa, mungkin kita sulit membedakan masakan Padang Asli dan yang “imitasi”. Tetapi kalau harga dalam satuan rupiah, kita langsung dapat melihat perbedaannya. Mana yang layak kita beli dan tidak.

Baca Juga:  Apa Jadinya Hidup Tanpa "Pemanis"?

Sayapun sekarang sedang memikirkan, nasehat apa yang saya dapat berikan ke Kang Wawan, agar wajah kecutnya berubah menjadi sedikit manis. Untuk sementara mungkin saya ajak ngopi dahulu saja.