KABARINDAH-Nyepi tanpa internet kali keempat di Bali ini harus menjadi momentum yang tepat untuk mengkampanyekan gerakan sosial digital melawan tsunami kebencian, berita bohong (hoaks) yang tumbuh subur di masa pandemi Covid-19.
Sejatinya kehadiran Hari Raya Nyepi (1943 Saka) yang jatuh pada tanggal 14 Maret 2021 tidak hanya merayakan Melasti (pertobatan); Tawur (mengembalikan keseimbangan alam, manusia); Catur Brata Nyepi (empat ritual puasa); amati geni (tidak menyalakan api); amati karya (tidak melakukan pekerjaan sehari-hari); amati lelungaan (tidak bepergian); amati lelanguan (tidak menghibur diri), harus mampu memperkokoh toleransi, hidup rukun antarsesama umat beragama di Bumi Pertiwi ini.
Ujaran Kebencian
Mengingat selama April-Mei 2020, data Polda Metro Jaya menunjukkan ada 433 kasus hoaks dan ujaran kebencian yang masuk ke meja mereka. Salah satu bentuk kabar bohong dan ujaran kebencian itu tentang pelarangan ibadah beramai-ramai di Masjid, yang dipelintir sebagai bentuk pelarangan ibadah dan penindasan umat Islam. (Tirto, 30/06/2020).
Ironisnya, di tengah aksi solidaritas publik menjadi yang mengeliat dan tak bisa dianggap sepele guna menanggulangi pandemi Covid-19. Ikhtiar mengubah khawatiran jadi energi agar bisa tolong-menolong harus diupayakan dalam situasi darurat seperti ini, justru di dunia maya (media sosial) diwarnai dengan memproduksi dan menyebarluaskan informasi berupa virus hoaks Covid-19 yang malah membuat resah masyarakat dan dihantui rasa takut kematian.
Tentunya, berita bohong (hoaks) tentang Covid-19 yang berseliweran di jejaring digital dan media sosial ini dapat mengikat kepercayaan publik, sehingga membentuk ketidaksadaran kolektif yang jauh lebih membahayakan daripada virus korona baru.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengatakan saat ini ada 554 isu hoax yang tersebar di tengah pandemi Covid-19. Hoax itu tersebar di 1.209 platform digital, seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan YouTube.
Menurutnya yang telah ditindaklanjuti (di-takedown) sebanyak 893, terdiri dari 681 Facebook, 4 Instagram, 204 di Twitter, dan 4 di YouTube. Sedangkan yang akan (belum) ditindaklanjuti sebanyak 316, terdiri dari Facebook 162, Instagram 6, Twitter 146, dan YouTube 2. (detikNews, 18/04/2020 16:23 WIB)
Dengan demikian, memiliki sikap keberagamaan yang santun, bijak dan cerdas dalam menggunakan media sosial di era serba digital menjadi suatu keniscayaan yang tak bisa dipungkiri.
Tantangan Milenial
Keberlimpahan informasi di dunia siber (maya) telah menimbulkan ekses yang meresahkan. Meningkat banyak anak muda yang tak memiliki keterampilan menulis karena segala yang ingin ditulis telah terwakili oleh tulisan orang lain dan tersedia di internet.
Parahnya, banyak tulisan bersifat catatan-catatan pribadi, yang seharusnya tersimpan di ruang tersembunyi, rapat, malah lepas terpublikasi dan menjadi rujukan. Padahal, dalam literasi media, tulisan-tulisan itu sebenarnya kurang memenuhi azas kepatutan dalam berkomunikasi, (azas keadilan) sebagai sumber informasi, yang masih perlu cross-check dan re-check secara teliti untuk layak dikonsumsi. Sebagian masyarakat mengalami ambivalensi dalam memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Ada yang terbersit niatan luhur untuk menyeru kebaikan dan mencegah ketidakadilan.
Pesan-pesan yang bertebaran di media sosial seringkali menyuarakan enam ajakan untuk: Pertama, menyatakan kebencian kepada pihak lain; Kedua, menyatakan intoleransi terhadap pihak lain; Ketiga, melawan tatanan (sistem) sah yang ada; Keempat, mengandung unsur revolusioner; Kelima, mengandung unsur kekerasan; Keenam, mengandung ancaman kepada pihak lain. (M. Thoyibi, Yayah Khisbiyah [editor], 2018:iii & 4).
Spirit Nyepi
Menurut Dede Solehudin menegaskan momen Nyepi dijadikan sebagai waktu yang tepat untuk beristirahat total. Tanpa bising kendaraan, tanpa polusi suara, dan tanpa radiasi ponsel.
Jika Nyepi ini betul-betul dijadikan sebagai sarana kontemplasi, maka sejalan dengan pemusnahan unsur jahat yang dimanifestasikan dalam bentuk patung ogoh-ogoh. Unsur keburukan dalam kehidupan baik berupa hoaks, caci maki, fitnah, dan perkataan kotor selayaknya ditinggalkan. Karena itu semua merupakan bentuk dari keburukan. Termasuk di dalamnya adalah sikap intoleran dan penghalalan segala cara dalam mencapai tujuan.
Sehingga selepas Nyepi, akan tumbuh energi kebaikan dan berkurangnya energi keburukan. Spirit Nyepi adalah keseimbangan, harmoni dengan alam, juga sebagai tanda koma. Berhenti sesaat dari aktivitas keseharian baik di kantor maupun aktivitas sosial lainnya. Namun tentu bagi sebagian kecil kelompok, Nyepi dengan segala pembatasan termasuk pada akses internet merupakan sebuah kondisi kurang menyenangkan.
Kaum milenial yang cenderung lekat dengan dunia digital termasuk teknologi smartphone akan kurang nyaman. Seharian penuh tidak bisa mengakses internet baik berupa media sosial maupun game online sepertinya suatu kerugian dan cenderung membosankan. (detikNews, 06/03/2019 13:30 WIB)
Perkembangan teknologi informasi-digital telah memungkinkan dibangun imajinasi-imajinasi baru dalam dunia keberagamaan yang bersifat virtual dan artifisial. Dalam perkembangannya, tidak hanya mengubah pandangan manusia tentang agama, ritual, rumah ibadah, kitab suci, ketuhanan, tetapi ikut mengubah soal Tuhan itu sendiri.
Menciptakan dunia realitas virtual telah memberikan berbagai kemudahan dan keuntungan pada agama dan dunia keberagamaan, terutama dalam komunikasi dan interaksi antaraumat. Internet (media sosial) telah memberikan kemudahan dalam penyampaian ajaran keagamaan. Misalnya, peningkatan kapasitas, kecepatan dan kualitas komunikasi. Berbagi situs (laman keagamaan) yang dikembangkan di dalam internet (realitas virtual, media sosial) telah memperluas jangkauan komunikasi dan dakwah keagamaan, memperkaya bahasa verbal, tulisan (visual), memperkuat jaringan-jaringan yang membangunnya, mempermudah dokumentasi tekstual dan memperbesar kemampuan dokumentasinya.
Ruang realitas virtual dapat dipandang sebagai sebuah saluran spiritual di antara umat, yang melaluinya ajaran keagamaan dapat dikomunikasikan dan diseminasikan. Melalui ruang-ruang virtual itu berbagai imajinasi baru yang berkaitan dengan komunikasi agama diciptakan. (Yasraf Amir Piliang, 2011:xIvii-xIviii).
Keikutsertaan pemerintah, pemuka agama, tokoh masyarakat, cendekiawan untuk mengajak umat, rakyat agar terlibat aktif dalam upaya pencegahan Covid-19 di lingkungan masing-masing harus mendapatkan dukungan secara bersama-bersama.
Dengan demikian, kehadiran Nyepi tanpa internet harus menjadi perisai untuk melakukan pengendalian diri (introspeksi, penyucian) dari segala tindakan, ucapan dan perbuatan kotor, jahat, yang ada dalam (pikiran) diri kita, termasuk berita bohong (hoaks), ujar kebencian yang bertebaran di internet, media sosial.
Caranya dengan membiasakan perbuatan ahimsa yang dimulai dari pikiran (manacika) menuju wicara (wacika), dan berakhir pada laku (kayika atau tri kaya parisuda). Selamat Hari Raya Nyepi 1943. Semoga semua makhluk berbahagia.
IBN GHIFARIE, pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.