KABARINDAH.COM — Wayang golek merupakan salah satu aliran dari kesenian wayang. Umumnya wayang ini dipentaskan di wilayah Parahyangan, Jawa Barat, dengan menggunakan Bahasa Sunda.
Namun, wayang ini juga dipentaskan di luar wilayah tersebut seperti di Brebes dan Cilacap di Jawa Tengah. Lakon yang dimainkan dalam wayang golek purwa adalah kisah Mahabharata dan Ramayana.
Aliran wayang golek ini diperkirakan mulai berkembang di Jawa Barat sejak abad ke-19 M dipelopori oleh Bupati Bandung Wiranatakusumah III. Pagelarannya di waktu itu dikhususkan untuk kaum menak (bangsawan), sebelum akhirnya menyebar luas di kalangan masyarakat Sunda.
Pertunjukan seni wayang golek merupakan seni pertunjukan teater rakyat yang banyak dipagelarkan. Selain berfungsi sebagai pelengkap upacara selamatan atau ruwatan, pertunjukan seni wayang golek juga menjadi tontonan dan hiburan dalam perhelatan tertentu.
Sejak 1920-an, selama pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden. Popularitas sinden pada masa-masa itu sangat tinggi sehingga mengalahkan popularitas dalang wayang golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah sekitar 1960-an.
Menelusuri sejarah
Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari keberadaan wayang kulit, penyebaran wayang di Jawa Barat dimulai pada masa pemerintahan Raden Patah dari Kerajaan Demak, kemudian disebarluaskan para Wali Songo.
Termasuk Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1568 memegang kendali pemerintahan di Kasultanan Cirebon. Beliau memanfaatkan pergelaran wayang kulit sebagai media dakwah untuk penyebaran agama Islam.
Baru sekitar 1584 Masehi di Jawa Tengah salah satu Sunan dari Dewan Wali Songo menciptakan Wayang Golek, tidak lain adalah Sunan Kudus yang menciptakan Wayang Golek Pertama.
Dalam perjalanan sejarahnya, pergelaran wayang golek mula-mula dilaksanakan oleh kaum bangsawan. Terutama peran penguasa terutama para bupati di Jawa Barat, mempunyai pengaruh besar terhadap berkembangnya wayang golek tersebut.
Pada awalnya pertunjukan wayang golek diselenggarakan oleh para priyayi (kaum bangsawan Sunda) dilingkungan Istana atau Kabupaten untuk kepentingan pribadi maupun untuk keperluan umum.
Di daerah Cirebon disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak.
Salmun (1986) menyebutkan baru pada 1583 Masehi, Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari.
Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun `wayang purwo` sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro.
Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, tetap disebut sebagai wayang golek.
Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) dari Cirebon wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam.
Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Pementasan wayang golek di tanah Parahyangan dimulai sejak Kesultanan Cirebon berada di tangan Panembahan Ratu (1540-1650) yang juga merupakan cicit dari Sunan Kudus.
Yang dipertunjukan saat itu adalah wayang cepak (atau wayang golek papak), disebut demikian karena memiliki bentuk kepala yang datar.
Selanjutnya ketika kekuasaan Kesultanan Cirebon diteruskan oleh Pangeran Girilaya (1650-1662), wayang cepak semakin populer dimana kisah babad dan sejarah tanah Jawa menjadi inti cerita, yang tentunya masih sarat dengan muatan agama Islam.
Wayang golek di Jawa Barat
Perkembangan wayang golek melaju pesat, kesenian wayang golek berbahasa jawa mulai digeser ketenaranya dengan kesenian wayang golek berbahasa sunda, bisa dibuktikan dominasi wayang golek berbahasa sunda pada abad ke-17 pada masa ekspansi Kesultanan Mataram.
Pertunjukan seni wayang golek yang kala itu masih bertahan mewarisi beberapa pengaruh Hindu sebagai bekas wilayah kerajaan Sunda Pajajaran.
Pakem dan jalan ceritanya sesuai dengan versi jawa meskipun terdapat beberapa perbedaan nama tokoh, yang kemudian dalam pertunjukan wayang golek berbahasa sunda dikenal pula sebagai wayang golek purwa.
Pada waktu kabupaten-kabupaten di Jawa Barat ada di bawah pemerintahan Mataram, ketika masa pemerintahan Sultan Agung (1601-1635), penggemar seni pewayang meningkat.
Bukan hanya dari kalangan biasa bahkan banyak bangsawan sunda yang datang ke Mataram untuk mempelajari bahasa Jawa dalam konteks kepentingan pemerintahan.
Dalam penyebaranya wayang golek tumbuh dengan membebaskan pemakaian bahasa masing-masing. Hasilnya seni pewayangan berkembang dan menjangakau seluruh daerah Jawa Barat.
Menurut penjelasan Dr Th Pigeaud, seorang bupati Sumedang mendapat gagasan untuk membuat wayang golek yang bentuknya menyerupai wayang kulit dalam lakon Ramayana dan mahabharata.
Perubahan dari bentuk wayang kulit menjadi golek terjadi secara berangsur-angsur, hal ini terjadi sekitar abad 18-19.
Hal ini diamini dengan adanya berita bahwa pada abad ke-18 atau sekitar 1794-1829 Dalem Bupati Bandung (Karanganyar) menugaskan Ki Darman seorang pegiat wayang kulit asal Tegal Jawa tengah yang berdomisili di Cibiru, Jawa Barat, untuk membuat wayang golek purwa.
Kemudian pada abad ke-20 perubahan-perubahan bentuk wayang golek menjadi semakin baik dan sempurna.
Hasilnya dapat dilihat pada perkembangan wayang golek yang sering kita jumpai pada masa sekarang ini, wayang golek yang akrab kita temui tersebut adalah penyempurnaan bentuk dari wayang golek purwa sunda.
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, pagelaran wayang golek mula-mula ekslusif dilaksanakan oleh kaum bangsawan, terutama para penguasa seperti bupati di Jawa Barat mempunyai cukup andil dalam perkebangan kesenian wayang golek di Jawa Barat.
Pada awalnya pertunjukan wayang golek diselenggarakan oleh para kaum priyayi (kaum bangsawan sunda) dilingkungan Istana atau Kabupaten baik untuk kepentingan pribadi ataupun keperluan umum.
Fungsi pertujukan pada kala itu masih bergantung pada permintaan para bangsawan. pagelaran seni wayang golek memiliki tujuan bermacam-macam, dari mulai yang sifatnya ritual, ataupun dalam rangka tontonan atau hiburan semata.
Pertunjukan yang bersifat ritual sudah jarang dipentaskan, misalnya saja pada upacara sedekah laut atau sedekah bumi, yang biasanya hanya diadakan setahun sekali.
Pementasan yang masih bertahan sampai sekarang adalah pertunjukan seni wayang golek untuk hiburan, bisanya diselenggarakan untuk memeriahkan acara peringatan kabupaten, hari kemerdekan Indonesia, syukuran, hajatan, dan lainnya.
Walaupun demikian, tak berarti esensi yang mengandung nilai tuntunan sudah hilang, dalam penuturan lakon setiap tokoh pewayangan nilai-nilai pembelajaran selalu ada.***
___
Sumber: Wikipedia
Editor: FA