KABARINDAH.COM-Perubahan iklim dan ekosistem kawasan pesisir menjadi isu global yang kerap dibahas. Dampak perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan ekosistem ini.
Prof Hefni Effendi, Guru Besar IPB University dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan mengulas dampak perubahan iklim pada jasa ekosistem kawasan pesisir ini. Ia mengatakan keberlanjutan ekosistem pesisir erat kaitannya dengan sustainable development goals ke-13, 14, dan 15.
“Diharapkan ada kerjasama antara stakeholder, tidak sebatas kerjasama per proyek dan sifatnya top down. Perlu dikembangkan juga kegiatan riset yang berkaitan dengan masalah perubahan iklim,” ujarnya dalam Lokakarya “Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekosistem Pesisir” oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI, seperti dilansir Kabar Indah dari IPB University, Kamis, (29/09/2022).
Ia menilai jasa ekologi pesisir biasanya hanya dipandang dari sisi engineering, padahal terdapat sistem jasa lingkungan yang ditawarkan. Ketika pihak yang latar belakangnya bukan dari bidang ekologi melakukan penilaian, jasa lingkungan yang ditawarkan kawasan pesisir sering diabaikan.
Menurutnya, hal ini patut diperhatikan ketika melakukan eksploitasi di kawasan pesisir. Panen jasa lingkungan dari ekosistem juga tidak terlihat secara nyata. Misalnya sebagai kontrol polusi dan penyerap karbon kadang tidak terlihat oleh pihak yang tidak berlatar belakang ekologi. Padahal dapat memberikan nilai religious significant bila ekosistemnya terjaga.
“Jasa lingkungan mangrove bukan sekedar sebagai pelindung kawasan pesisir, namun sumber biodiversitas, sumber kayu, kontrol polusi hingga nilai budaya. Ketika kita melihat ekosistem pesisir, seharusnya tidak hanya dilihat secara kasat mata tapi harus melihat (nilai) intangible-nya,” lanjutnya.
Secara lebih rinci, lanjutnya, perubahan iklim berdampak pada pengurangan kadar oksigen terlarut dalam air dan membuatnya lebih asam, sehingga berpengaruh pada habitat terumbu karang dan ikan.
Menurutnya, kawasan mangrove sebagai penyerap karbon cukup besar, yakni 25 persen. Berdasarkan laju carbon sequestration, nilainya juga jauh lebih tinggi dibandingkan hutan tropis. Kemampuan ini terjadi karena pada ekosistem mangrove merupakan rantai anaerobic. Proses degradasi bahan organik lebih lama karena karbon yang seharusnya dilepaskan akan disimpan lebih lama di lantai mangrove. Maka dari itu, ekosistem bakau sangat baik sebagai daerah penangkap sedimen bahan organik.
“Maka ketika berbicara terkait carbon trading, betul-betul harus menjaga mangrove dengan baik dan mendata dengan baik sehingga kemungkinan carbon trading akan lari ke daerah mangrove bukan ke daerah terestrial. Karena secara perhitungan, mangrove lebih mampu menyimpan karbon dibanding hutan daratan,” tambahnya.