Oleh Dr Budi Santoso | Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
“Ada uang ada kualitas,” itulah pepatah untuk para pengusaha atau pencari pekerja. Artinya, kalau ingin mendapatkan tenaga kerja yang bagus, ya harus berani bayar mahal.
Ungkapan di atas, menurut dugaan saya, dalam beberapa waktu ke depan akan menjadi ungkapan yang kurang pas.
Berjuta-juta orang menganggur gara-gara pandemi. Baik di level white collar pekerja level kantoran maupun blue collar atau level buruh. Ketika pandemi usai, mereka para pengangguran akan menunggu ekonomi tumbuh melalui kebangkitan usaha, harapannya mereka kembali mendapat pekerjaan seperti semula.
Apakah mereka akan dengan mudah mendapatkan pekerjaan semula? Bisa iya, bisa tidak.
Situasi masa menganggur akan membawa mereka pada situasi yang menekan, yaitu “lapar kerja”. Dalam diri manusia menganggap bekerja bukan saja untuk mencari penghasilan, namun juga ada “harga diri” di dalamnya.
Perkiraan saya, akan terjadi “perebutan” pekerjaan yang luar biasa. Banyak orang rajin dan pintar dengan kemampuan yang melebihi tuntutan pekerjaannya, “merebut” pekerjaan dengan level di bawahnya, dan tentu saja dengan bayaran sesuai level pekerjaannya atau bayaran yang lebih rendah. Itu bisa jadi menjadi solusi sementara, daripada menganggur.
Saya pernah menonton sebuah talkshow di televisi. Ada seorang ahli tehnik setara S2 dari Jerman, bekerja sebagai supir taksi. Kemudian, ada juga di Singapura seorang doktor mikrobiologi bekerja sebagai supir taksi, karena tempat bekerjanya bangkrut.
Ada juga di Thailand, seorang pramugara menjadi pengantar makanan. Dan masih banyak pekerjaan yang dikerjakan oleh orang yang “over skills”, atau lebih tepatnya orang yang bekerja bukan pada tempatnya, karena dipaksa keadaan.
Dunia terus bergerak. Kebutuhan hidup harus dipenuhi. Makan, listrik, pendidikan anak harus dipenuhi. Seperti itulah pilihan yang mereka harus tempuh, ketika pintu pekerjaan yang seharusnya untuk mereka habis terbakar ludes, disikat pandemi Covid.
Terus bagaimana, para pekerja yang tergusur? Sepertinya, kita akan sulit menuntut persayaratan, di kala pekerjaan sedang rebutan.
Mungkin kisah seorang guru SD honorer sebesar 700 ribu selama 4 bulan yang dipecat gara-gara curhat di medsos, dapat menjadi renungan bersama. Meskipun batal dipecat, namun tentang gajinya sepertinya luput dari perhatian. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa guru yang “nrimo” dengan bayaran kecil berarti tidak berkualitas. Mungkin sang guru hanya memenuhi panggilan hatinya saja.
Yo wis Bu guru, sing sabar-sabar saja.