Pojok  

Orang Kaya dan Miskin, Pernyataan Nadin Azimah, Wajah Media Sosial Kita

Oleh: Salomo Leonardo Sihotang | Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika.

Perbincangan tentang orang kaya dan orang miskin selalu menjadi bahasan yang menarik, ketika sudah tertuang dalam topik obrolan orang-orang Indonesia. Isi perbincangan tersebut akan selalu mengarah kepada pihak mana yang lebih diuntungkan dan pihak mana yang malah menjadi sangat dirugikan bagi mereka yang terlibat dalam diskusi tersebut.

Jarang sekali kita mendengar obrolan yang sehat tentang kedua strata sosial tersebut. Kalau tidak orang kaya yang suka korupsi, bisa juga tentang orang miskin yang bersahabat dengan aksi kriminalitas. Ya, kehidupan sekarang memang sudah sangat aneh. Sandang, pangan, papan, dan gibah merupakan kebutuhan masyarakat  media sosial saat ini.

Pertengahan Januari 2021 lalu, saat sedang asik-asiknya melintasi padatnya lalu lintas sosial media Twitter, saya berhenti di suatu perbincangan yang saat itu sedang, mungkin bukan hangat lagi, tetapi sudah panas-panasnya. Yap, saya melihat akun Twitter Nadin Amizah, penyanyi yang musiknya sangat bersahabat dengan telinga anak muda pecinta kopi dan senja. Halaman Twitternya dibanjiri komentar warga Twitter yang sedang asik menyerangnya.

Halaman Twitternya penuh dengan pendapat-pendapat kontradiktif. Semua berawal dari pernyataannya beberapa waktu lalu saat Nadin diundang Deddy Corbuzier untuk datang ke “Podcast Om Deddy “sebagai tamu.

Baca Juga:  Apa Itu Metaverse? Dunia Masa Depan, Rekayasa atau Virtualitas Impian!

Bukan Om Deddy namanya jika podcast-nya tidak menghadirkan sesuatu yang kontroversial dan dapat menjadi trending topic di Twitter. Dalam podcast tersebut, Nadin membuat pernyataan tentang orang kaya yang mempunyai privillege dan kemudahan berlebih untuk bersedekah dibanding orang miskin.

Pernyataan tersebut membuat banyak sekali orang Indonesia yang merasa tersinggung dan dirugikan oleh ucapannya tersebut. Saya berani menyimpulkan, masyarakat Twitter yang tersinggung tersebut setidaknya memiliki paketan dan gadget untuk mengakses Twitter dan menonton secara full video podcast Om Deddy di YouTube sambil menyeruput kopi dua puluh ribuan.

Dari banyaknya kritikan yang diterima Nadin, di dalamnya berisi makian-makian yang jika kita melihatnya dapat membuat kita berpikir bahwa untuk apa gadget dan media sosial masuk ke Indonesia. Bukannya tanpa alasan, pernyataan yang dikeluarkan warga Twitter bahkan menyaingi pernyataan Nadin tentang orang kaya dan orang miskin.  Bahkan, Nadin mendapat penghakiman yang sangat buruk dari netizen yang berkomentar.

Nadin tentu sudah memikirkan apa yang akan dia ucapkan. Tentang penggunaan diksi yang tidak tepat dalam pandangan beberapa orang, menurut Saya, tidak ada diksi yang lebih tepat dari “orang kaya” dan “orang miskin” untuk pernyataan seperti itu.

Baca Juga:  Pak Ogah, Pedagang Asongan, dan Harapan Masa Depan

Bagi saya yang sudah lama menyandang predikat “orang miskin” tentu sangat setuju dengan pernyataan Nadin tersebut. Saya pernah berada di masa ingin sekali memberi dan berbagi kebaikan dengan sesama. Sayangnya, tidak memiliki apa-apa yang berlebih. Hal itulah yang membuat saya ingin menjadi orang kaya dan ingin segera melepas predikat “orang miskin” dari jiwa dan raga Saya.

Dengan begitu, saya dengan sangat mudah berbagi kebaikan kepada sesama. Namun, apakah dengan begitu saya tidak pernah melakukan kebaikan? Tentu tidak, dong. Jika kalian meminta bukti, mintakan saja kepada Pencipta kehidupan ini.

Saya yakin mereka yang berkomentar buruk di kolom akun Twitter Nadin pasti sering menonton acara televisi Bedah Rumah, Orang Pinggiran, atau bahkan Mikrofon Pelunas Utang yang dalam acaranya tersebut berhasil “menjual” kisah kesedihan yang dialami oleh orang-orang miskin. Lalu, kenapa acara-acara tersebut tidak mendapat banyak kritikan seperti yang diterima Nadin? Padahal jika mengutip salah satu komentar warga Twitter, mereka sama-sama melakukan romantisasi keadaan.

Secara tidak langsung, program televisi seperti itu memaksa kita untuk mengasihani orang miskin dengan menontonnya. Lalu, stasiun televisi mendapat keuntungan yang melimpah. Si miskin makin miskin, dan si kaya makin kaya dengan kita menontonnya saja.

Baca Juga:  Temukan Keistimewaan

Bahkan acara televisi tersebut malah lebih buruk dari pendapat Nadin yang bisa saja maksudnya mengajak kita untuk meninggalkan kemiskinan dan berusaha untuk menjadi orang kaya agar lebih mudah berbuat baik. Kalau bicara kejahatan, tentu kejahatan bisa terjadi kepada siapa saja. Korupsi dan tindak kriminal sama jahatnya bagi mereka yang menjadi korban.

Sayang sekali di zaman sekarang, seseorang perlu menyiapkan sebuah klarifikasi berisi permintaan maaf jika ingin mengeluarkan suatu statement atau pendapat. Padahal maknanya bisa saja berubah karena pernyataan tanpa sebuah klarifikasi merupakan suatu pemikiran diri sendiri yang sangat jujur. Jika sudah diklarifikasi, maka sudah mendapat campur tangan pandangan dari orang lain.

Bisa sih, seseorang tidak perlu memikirkan sebuah klarifikasi atas pendapatnya, tetapi hukuman sosial yang akan menghantui mereka dengan sangat kejam dan tajam. Atau biasa kita dengar dengan sebutan cancel culture. Apapun itu, jangan mau jadi si miskin.