KABARINDAH.COM – Tahun 2021 ditutup dengan melonjaknya harga minyak goreng di pasaran. Para pelaku pasar, mulai distributor, peritel modern, pelaku pasar tradisional, pedagang eceran, hingga konsumen, terutama pedagang kecil penjual makanan, dihantui harga jual minyak goreng yang tinggi.
Mereka menjerit atas kenaikan harga komoditas tersebut. Sungguh ironi, Indonesia yang merupakan lumbung sawit, sehingga menjadi penghasil terbesar crude palm oil (CPO) di dunia masih dihadapkan pada persoalan kelangkaan minyak goreng.
Alhasil, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus ada indikasi terjadinya praktik kartel di balik lonjakan harga minyak goreng tersebut.
Untuk merespons kenaikan harga minyak goreng, pada awal Januari 2022, pemerintah membuat kebijakan dengan menetapkan kebijakan subsidi minyak goreng. Namun, kebijakan ini malah membuat stok minyak goreng di pasaran semakin terbatas, bahkan langka.
Pemerintah kemudian menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) per 1 Februari 2022.
Dalam kebijakan DMO, perusahaan minyak goreng wajib memasok minyak goreng sebesar 20% dari volume ekspor mereka. Kemudian dalam kebijakan DPO, pemerintah menetapkan harga CPO Rp 9.300 per kilogram.
Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Sawit juga dicantumkan HET minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter. Namun, HET tidak bisa sepenuhnya berjalan di lapangan lantaran langkanya minyak goreng.
Penyebab Kenaikan Harga CPO
Dari kajian yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), ada beberapa faktor yang memengaruhi kenaikan harga minyak goreng. Salah satunya adalah harga CPO dunia yang sedang meningkat. Selama 2021, harga CPO mengalami kenaikan hingga 36,30% (year on year).
Peneliti Indef Rusli Abdullah memaparkan setidaknya terdapat empat faktor utama yang memicu kenaikan harga CPO.
Pertama, terjadinya penurunan produksi CPO di negara produsen akibat Covid-19 serta gangguan cuaca. Misalnya, produksi CPO Indonesia pada 2021 sebesar 46,88 juta ton atau turun 0,31% dibandingkan produksi 2020 sebesar 47,03 juta ton.
Kedua, permintaan CPO mengalami kenaikan di pasar domestik maupun pasar ekspor. Untuk permintaan minyak sawit di dalam negeri saja terjadi kenaikan 6% dari 17,34 juta ton pada 2020 menjadi 18,42 juta ton pada 2021.
Faktor ketiga yang turut memicu kenaikan harga CPO adalah kenaikan harga komoditas energi, seperti minyak mentah, gas, dan batu bara. Semakin mahalnya harga komoditas energi tersebut mendorong terjadinya substitusi energi fosil dengan menggunakan sumber energi yang berasal dari biofuel.
Faktor keempat, terjadinya gejala commodity supercycle di masa pandemi Covid-19 saat ini melahirkan fenomena spekulasi di pasar komoditas, termasuk pada pasar CPO. Masifnya stimulus fiskal yang digelontorkan berbagai negara dunia selama masa pandemi menyebabkan bertambahnya uang beredar, sehingga memicu inflasi.
Terkait respons pemerintah melalui kebijakan subsidi minyak goreng, Rusli melihat kebijakan tersebut tidak efektif lantaran tidak tepat sasaran dan infrastruktur yang juga tidak siap.
“Konsumsi minyak goreng rumah tangga kita itu 61% minyak curah, tetapi kebijakan yang dilakukan adalah subsidi pada minyak kemasan. Artinya kebijakan yang diambil tidak nyambung,” kata Rusli Abdullah.
Ketidakefektifan kebijakan subsidi minyak goreng kemudian diganti pemerintah dengan kebijakan DMO dan DPO yang berlaku per 1 Februari 2022. Namun, Rusli melihat masih terjadi kelangkaan minyak goreng, baik di pasar tradisional maupun ritel modern. Kalaupun tersedia, harganya masih di atas HET.
“Sampai saat ini harga minyak goreng belum turun juga dan langka di beberapa daerah. Kenapa? Berarti ada problem di hulunya ketika interaksi antara PKS (pabrik kelapa sawit, Red), pemilik kebun kelapa sawit dengan perusahaan minyak goreng. Karena kan ada juga perusahaan minyak goreng yang tidak memiliki kebun kelapa sawit, tetapi dia membeli CPO dari PKS. Masalahnya, PKS kan tidak memiliki kewajiban untuk DMO, kalau dia tidak ekspor. Banyak PKS yang meng-hold ekspornya, sehingga dia tidak wajib DMO,” ungkap Rusli.
Pandangan lain tentang penyebab kelangkaan minyak goreng disampaikan ekonom Faisal Basri. Dia melihat adanya pergeseran konsumsi CPO di dalam negeri. Konsumsi CPO bergeser dari industri pangan menjadi industri biodiesel. Kondisi ini terjadi sejak pemerintah menerapkan program B-20 pada 2020.
Program ini mewajibkan pencampuran 20% biodiesel dengan bahan bakar minyak jenis solar. Adanya program ini membuat alokasi CPO untuk biodiesel berangsur naik, dari 5,83 juta ton pada 2019 menjadi 7,23 juta ton pada 2020.
Sebaliknya, konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton pada 2019 menjadi 8,42 juta ton pada 2020. Pola kenaikan porsi biodiesel diprediksi akan berlanjut seiring dengan peningkatan porsi CPO dalam biodiesel melalui program B-30 (mengandung biodiesel 30%).
Kebijakan pemerintah yang mendorong program biodiesel ini menjadi trade off atau mengorbankan suatu aspek untuk memperoleh aspek lain bagi CPO industri pangan.
Adanya jaminan pemerintah bahwa perusahaan biodiesel tidak akan merugi melalui subsidi ketika harga di dalam negeri lebih rendah dibanding harga internasional membuat pengusaha lebih cenderung menyalurkan CPO-nya pada biodiesel.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksikan porsi CPO untuk biodiesel mencapai 43% dari konsumsi CPO dalam negeri pada 2022.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengungkapkan bahwa harga CPO global mengalami kenaikan terus-menerus, sehingga memengaruhi harga minyak goreng dalam negeri. Di sisi lain, harga minyak nabati lainnya juga mengalami kenaikan.
“Memang tidak bisa dimungkiri bahwa harga CPO-nya naik terus dan itu juga karena harga minyak nabati lain naik. Minyak kedelai juga naik, minyak bunga matahari juga naik. Jadi tidak hanya minyak goreng sawit yang naik,” ungkap Joko.
Harga di Malaysia
Terkait harga minyak goreng di Malaysia yang dipatok 2,5 ringgit atau setara Rp 8.500 per liter, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR menjelaskan bahwa harga tersebut merupakan harga setelah diberikan subsidi oleh pemerintah.
“Di Malaysia itu sejak 2016 ada satu kebijakan dan ini memang biasa di Malaysia. Mereka memberikan subsidi langsung ke masyarakat. Mereka menyubsidi sekitar 60.000 kilogram atau 60 juta liter per bulan untuk diberikan langsung dengan harga 2,5 ringgit. Itu subsidi, pemerintahnya yang menyubsidi,” kata Lutfi.
Untuk harga minyak goreng nonsubsidi di Malaysia berkisar 6,7 ringgit atau sekitar Rp 20.000 per liter dan Rp 22.000 per kilogram.
“Artinya lebih mahal daripada minyak di Indonesia,” kata Lutfi.
Lutfi menjelaskan harga minyak goreng yang lebih mahal di Malaysia tidak lepas dari harga CPO yang juga lebih tinggi daripada di Indonesia.
“Sekarang kalau harga internasional US$ 1.340 per ton, mereka ada pajak ekspor US$ 100 per ton. Jadi penyerahan CPO di Malaysia itu harganya US$ 1.240 per ton, di tempat kita kira-kira US$ 1.040 per ton, makanya mereka lebih mahal,” terang Lutfi.