Oleh Dr Budi Santoso
(Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta)
Saudara saya dahulu, kalau membeli mobil, televisi, dan barang-barang harus bermerk atau buatan Eropa atau Amerika. Dia menganggap produknya kuat, andal dan tahan lama.
Zaman berubah, orang sudah tidak mau menyimpan barang berlama-lama di dalam rumah, kecuali foto keluarga dan cenderamata. Orang sekarang ingin rumah terlihat segar dengan berbagai atribut modernisasi, berupa barang-barang modern high end terpajang di rumahnya.
Hanya rumah dengan penghuni kaum lansia yang menyimpan barang barang usang. Posisi barang yang itu-itu saja dan di situ saja, tidak bergerak bertahun-tahun.
Semakin usia menua, keinginan bersolek berkurang, keinginan membeli berkurang, seiring dengan berkurangnya penghasilan dan kemampuan aktivitasnya. Semuanya menurun kemudian fade away, lama-lama hilang.
Kita sudah merasakan aura kusam di rumah nenek kita, dominasi bau balsam atau minyak gosok lebih dominan. Di meja tamu masih terhidang di toples kue nastar lebaran dua tahun silam.
Di meja makan tertumpuk obat, dan sofa di depan televisi, yang terlihat merana karena sering diduduki, lebih dari 4 jam sehari. Perawatan dapur yang sudah jarang terpakai. Mungkin hanya tanaman yang masih segar, karena penghuninya masih suka berkebun.
Bagi para penggemar benda yang awet dan tahan lama, sering tetap menyimpan barangnya. Sepertinya tidak rela menyerahkan barang yang dimiliki kepada orang lain meskipun di rumah tidak berguna.
Mengapa para ortu lansia masih menyimpan barang-barang tuanya, kenapa tidak merelakan saja barang di rumahnya untuk anak cucunya? Katanya dipertahankan untuk hiburan pandang-pandangan saja, meskipun banyak terlihat kusam dan berdebu. Dan para lansia lebih sibuk mengurus obat dan penyakitnya.
Padahal, menurut saya, menyingkirkan berbagai barang tidak berguna di rumah, akan meringankan pikiran. Tidak terbebani pertanggungjawabannya. Tetapi ya manusia, masih senang diglendoti atau menglendoti masalah duniawi sampai akhir hayat. Bukannya gembira dan berpikir yang enteng-enteng saja.
Pekan ini, saya hanya mau berpikir yang senang-senang saja. tidak harus kemrungsung, dan harus berani berkata “cukup sudah”, enough is enough, kata orang Belanda. (*)