Kabar  

Seni dan Budaya, Media Strategis Dakwah Humanis Ala Persyarikatan Muhammadiyah

KABARINDAH.COM, Bandung — Dalam kajian Gerakan Subuh Mengaji Aisyiyah Jawa Barat, Senin (12/05/2025), dosen prodi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Muhammadiyah Bandung Ahmad Rifai menyampaikan pentingnya memahami visi kebudayaan Muhammadiyah dalam kerangka dakwah Islam yang kontekstual dan membumi. Materi ini mengajak peserta untuk menelaah bagaimana Muhammadiyah memaknai budaya sebagai sarana dakwah yang strategis.

Ahmad Rifai menjelaskan bahwa konsep tarjih dalam Muhammadiyah bukan hanya terbatas pada persoalan fikih, melainkan mencakup respons intelektual atas problem sosial dan kemanusiaan. Dalam perkembangan kelembagaan, Majelis Tarjih bahkan berganti nama menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid, menandakan semangat pembaruan yang terus hidup dalam tubuh Muhammadiyah.

Ia menyampaikan bahwa dalam Munas Tarjih di berbagai daerah, seperti Aceh, Jakarta, dan Malang, telah lahir gagasan penting seperti dakwah kultural dan pedoman kebudayaan Muhammadiyah. Salah satu hasil pemikiran pentingnya adalah gagasan integrasi antara agama dan budaya sebagai fondasi dakwah yang efektif dan kontekstual.

”Seni dan budaya merupakan bagian dari fitrah manusia yang melekat sejak lahir. Islam tidak memusuhi budaya selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan, kesenian bisa menjadi wajib hukumnya jika digunakan sebagai media dakwah. Oleh karena itu, Muhammadiyah mendorong penggunaan budaya dan seni sebagai sarana menyampaikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat,” ujar Rifai.

Dalam pandangan Muhammadiyah, lanjutnya, hukum seni dan budaya berada pada wilayah muamalah duniawiah yang pada dasarnya boleh kecuali ada dalil yang melarangnya. Ahmad Rifai menekankan bahwa seni dan budaya memiliki potensi besar dalam menyebarkan nilai keislaman yang humanis, rasional, dan transformatif, terutama jika terintegrasi dengan semangat tajdid.

Ia menambahkan bahwa dakwah Muhammadiyah tidak menolak budaya lokal, tetapi berusaha memilah antara unsur rasional dan irasional di dalamnya. Tradisi yang berkembang di masyarakat, seperti salawatan, barzanji, atau tahlilan, tidak dipandang sebagai teologi, tetapi sebagai bentuk ibadah umum (ghair mahdhah) yang fleksibel dalam pelaksanaannya.

Lebih lanjut, Ahmad Rifai menyampaikan bahwa dalam strategi kebudayaannya, Muhammadiyah mengedepankan integrasi antara agama, ilmu, dan seni. Dengan demikian, dakwah dapat hadir dalam konteks budaya masyarakat yang terus berkembang, tanpa kehilangan esensi ajaran Islam. Budaya, selama mampu mengantar pada amal saleh, sangat layak dijadikan media dakwah yang efektif.

”Kebudayaan tidak boleh dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai potensi. Ketika dakwah mampu hadir dalam ruang budaya, maka pesan-pesan Islam dapat diterima dengan lebih baik karena menyatu dengan kehidupan masyarakat. Inilah wujud dakwah yang membumi namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai langit,” tandasnya.***(FA)

Exit mobile version