Kabar  

Sejarah dan Spirit Keilmuan Ulama Nusantara Perlu Digali Lebih Dalam

KABARINDAH.COM, Bandung — Konsorsium Wahyu Memandu Ilmu (WMI) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung kembali menegaskan komitmennya dalam mengembangkan paradigma keilmuan berbasis Wahyu Memandu Ilmu dengan semangat rahmatan lil ‘alamin.

Bersama Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), WMI menggelar seminar bertajuk “Pengembangan Tridharma Perguruan Tinggi Berdasarkan Kepakaran Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora” pada Kamis (15/05/2025) di Aula FAH.

Seminar yang berlangsung pukul 09.00 hingga 11.00 WIB ini dibuka langsung oleh Dekan FAH Dedi Supriadi. Dalam sambutannya, ia menegaskan pentingnya sinergi antarlembaga untuk memperkuat karakter keilmuan khas UIN Bandung yang bertumpu pada nilai-nilai profetik.

“Fakultas Adab dan Humaniora harus menjadi pelopor dalam mengarusutamakan nilai rahmatan lil ‘alamin dalam setiap aktivitas tridarma perguruan tinggi. Diperlukan langkah strategis seperti pembaruan kurikulum agar lulusan kita memiliki kompetensi ganda dan mampu bersaing secara global,” ujarnya.

Ketua WMI Supiana turut menyoroti peran sentral guru besar dalam menghidupkan nilai-nilai kenabian di dunia akademik. Ia menyampaikan apresiasinya kepada FAH sebagai mitra strategis dan mengungkapkan rencana kolaborasi lanjutan dengan Fakultas Psikologi. “Upaya kita tidak cukup hanya sebatas diskursus teoritis, tapi harus berdampak nyata bagi masyarakat,” tegasnya.

Tiga guru besar hadir sebagai narasumber utama dalam seminar ini. Dadan Rusmana, Wakil Rektor I UIN Bandung, membuka sesi pemaparan dengan menekankan pentingnya literasi keilmuan sebagai pondasi menuju jenjang guru besar. Ia juga mengajak akademisi untuk lebih menggali khazanah intelektual ulama Nusantara.

“Pembelajaran bukan hanya rutinitas kelas, tapi harus menjadi proses untuk mengasah akal reflektif yang menyalakan kreativitas dan semangat berpikir kritis,” ungkapnya.

Selanjutnya, Asep Ahmad Hidayat membahas urgensi studi Sejarah Islam Kawasan sebagai fondasi diplomasi kebudayaan dan kerja sama internasional. Menurut Ketua Program Studi S2 Sejarah Peradaban Islam ini, sejarah bukan sekadar narasi masa lalu, tetapi jembatan menuju masa depan yang lebih bijak.

“Ilmu itu netral, tapi pemanfaatannya harus dilandasi dengan hikmah. Di sinilah rahmatan lil ‘alamin menjadi relevan dalam dunia akademik,” katanya.

Sementara itu, Mahi M Hikmat menyoroti pentingnya komunikasi politik dalam pengembangan sumber daya manusia, khususnya generasi Z. Ia menggarisbawahi dominasi media sosial dan pentingnya pendekatan prophetic communication dalam membentuk karakter generasi muda.

“Generasi Z sangat akrab dengan teknologi, tetapi kerap kehilangan keseimbangan spiritual. Komunikasi kenabian penting bukan hanya untuk menyampaikan pesan, tapi juga untuk membentuk watak,” jelasnya.

Ia juga menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat dalam merumuskan peta jalan pendidikan vokasi berbasis karakter agar Indonesia siap menghadapi tantangan global.

Diskusi berlangsung aktif dan dinamis, dengan berbagai pertanyaan kritis dari peserta. Isu yang dibahas mencakup strategi integrasi studi kawasan dalam kurikulum, tantangan birokrasi dalam pengusulan guru besar, hingga cara internalisasi nilai rahmatan lil ‘alamin dalam kebijakan publik.

Seminar ini menjadi bukti nyata bahwa FAH dan WMI terus meneguhkan arah keilmuan UIN Bandung yang berakar pada nilai kenabian, terbuka terhadap peradaban, dan berkontribusi nyata bagi masyarakat luas.

“Ini bukan sekadar jargon, melainkan perwujudan konkret dari Wahyu Memandu Ilmu menuju rahmatan lil ‘alamin—sebagai etos kerja dan jalan intelektual yang berkelanjutan,” pungkas Supiana.***

Exit mobile version