Oleh: Dr Encep Dulwahab M.Ikom | Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
KABARINDAH.COM – Manusia selain sebagai makhluk sosial, juga sebagai makhluk yang senantiasa membuat dan mengirim pesan (homo nuntius). Dalam kehidupan sehari-hari, beragam pesan disampaikan manusia kepada orang lain. Baik pesan langsung maupun tidak langsung. Atau juga pesan verbal dan nonverbal. Silih berganti kita memiliki begitu banyak pesan yang berharap agar orang lain itu memahami pesan kita.
Pesan bisa dikatakan juga sebagai identitas kita. Ketika kita sering memberikan pesan-pesan keras pada orang lain, maka kita diidentikkan sebagai orang yang keras. Ketika kita selalu memberikan pesan-pesan yang lembut, kita juga akan diidentikkan sebagai orang yang lemah lembut. Konstruksi identitas sangat tergantung pada pesan yang kita kemas dan kirim pada orang.
Jadi identitas kita tergantung pesan yang kita berikan pada orang lain, kemudian orang lain merespons pesan kita. Dalam pertukaran pesan ini, sosiolog CF Cooley (1902) menyebutnya the looking glass self, yang artinya bahwa konsep diri ditentukan oleh pandangan orang lain yang menerima pesan kita, kemudian memberikan respons dari pesan kita. Oleh karenanya, dalam membuat pesan harus benar-benar matang, dipikirkan baik-baik, karena dampak pesan itu tidak hanya pada orang lain, akan tetapi kembali lagi pada kita yang membuat dan mengirimkan pesan tersebut.
Bagaimana pun ucapan yang sudah dikeluarkan akan sulit untuk diubah (irreversible). Meskipun ada klarifikasi, ada ralat, ucapan permintaan maaf, namun pesan pertama sudah sampai ke benak atau memori para penerima. Dan ini akan diingat bahkan membekas dari diri penerima. Beruntung kalau pesan yang disampaikan adalah pesan yang baik-baik dan positif. Celakanya pesan yang disampaikan itu pesan yang tidak pantas dan bisa merusak tatanan kehidupan.
Tidak hanya kalangan elite yang harus hati-hati dalam membuat pesan untuk publik, masyarakat kelas bawah pun tetap harus bersabar dan dipertimbangkan terlebih dahulu ketika dalam membuat dan menyampaikan pesan. Banyak yang celaka atau jatuh dari tangga popularitas gara-gara salah dan tidak tepat pesan yang dibuat dan disampaikannya.
Termasuk dalam penggunaan atau pilihan bahasa dalam mengemas pesannya. Mungkin awalnya tidak ada niatan jelek atau jahat sekalipun, namun karena bahasa yang digunakannya tidak tepat, sehingga maknanya menjadi kurang pantas. Siapa pun harus memperhatikan bahasa dalam pesannya. Tidak terkecuali para pejabat yang memiliki otoritas.
Bahasa para pejabat itu bahasa politik. Bisa dimanfaatkan dan digunakan untuk hal-hal tertentu demi mendapatkan keuntungan, atau membentuk situasi yang bisa merugikan sampai menjatuhkannya. Meskipun Alwasilah (1994) mengatakan, kalau para pejabat itu memberi pesan, itu ibaratnya melempar ide yang maknanya disesuaikan dengan konteks politiknya. Namun yang harus menjadi pertimbangan adalah pesan dan penggunaan bahasa para pejabat ini menjadi konsumsi publik, dan akan berdampak buruk terhadap kestabilan politik bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dua kasus terakhir yang bisa menjadi contoh sekaligus pelajaran berharga untuk kita dalam membuat pesan dan penggunaan bahasa. Arteria Dahlan yang digeruduk dan dipaksa untuk meminta maaf kepada masyarakat Sunda, gara-gara dia salah dalam membuat pesan dan bahasa yang digunakannya. Jauh sebelum kejadian ini, banyak juga terjadi kesalahan-kesalahan pejabat dalam berpesan dan menggunakan bahasa.
Pesan dan bahasa pejabat idealnya yang mudah dipahami publik. Pejabat itu representasi pemimpin yang bisa memberikan solusi atau situasi yang sedang dihadapi masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman, dan membangun suasana semakin sejuk dan harmonis. Bukan melempar gagasan yang malah memicu perang antar narasil, yang akhirnya persoalan yang seharusnya bisa teratasi dengan cepat malah bertambah dengan masalah lain.
Pejabat harus empati pada masyarakat luas. Pejabat ketika membuat pesan dan penggunaan bahasanya harus mudah di cerna masyarakat. Bukan sebaliknya malah semakin memperkeruh suasana dengan terus memproduksi narasi yang tidak efektif dan proporsional. Terkecuali pejabat sedang masuk lingkungan kampus dan sedang beradu konsep sehingga lahir perdebatan yang sengit. Lingkungan kampus adalah wadah untuk melakukan hal ini, sampai bisa melahirkan ide baru, teori baru yang relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Pejabat jangan ingin dilihat pintar dan mumpuni dengan membuat pesan yang sulit untuk dipahami publik. Justru publik ingin mendapatkan pesan-pesan dari para pejabat yang praktis, mudah dipahami, sehingga dengan memahami pesan pejabat publik bisa berkontribusi dalam mensukseskan program atau kebijakan pejabat. (*)