Meminimalisir Learning Loss

Oleh Ade Zaenudin
(Mahasiswa Program Doktor UNINUS Bandung)

 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengungkap terjadi learning loss efek pandemi, sebuah kondisi berkurangnya pengetahuan dan keterampilan siswa secara akademik. Sangat merugikan namun susah dielakkan.

UNICEF mencatat, setidaknya sebanyak 106 negara menutup sekolah secara nasional, 55 negara menutup secara lokal, dan sekitar 1,725 miliar siswa belajar di rumah, sepertiga anak sekolah di seluruh dunia tidak dapat mengakses pembelajaran jarak jauh. Tidak kalah menarik hasil survei Kemendikbud di ujung tahun 2020 juga menyatakan bahwa 50 persen siswa tidak memenuhi standar kompetensi yang diharapkan selama belajar di rumah.

Lalu harus bagaimana? Mari terlebih dahulu kita lihat konstruksi pendidikan di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tepatnya pada pasal 13 menyatakan bahwa jalur pendidikan di Indonesia terdiri dari pendidikan formal, nonformal, dan informal. Secara sederhana pendidikan formal dilakukan di sekolah, pendidikan nonformal seperti yang dilakukan lembaga kursus dan semacamnya, sementara pendidikan informal seperti yang dilakukan di keluarga.

Kondisi pandemi mewajibkan kita untuk mengubah mindset, dari penguatan pendidikan formal ke jalur informal. Mengarusutamakan pendidikan keluarga adalah sebuah keharusan.

Jujur, selama ini kita hanya fokus pada pendidikan formal, orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah. Lalu pada saat sekolah lumpuh seperti saat ini, maka lumpuh pula konstruksi pendidikan yang ada.

Pasal 7 undang-undang sisdiknas bahkan lebih tegas menyatakan bahwa orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Berkewajiban. Catat!

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa alam keluarga adalah alam pendidikan permulaan. Orang tua berkedudukan sebagai penuntun, sebagai pengajar, sebagai pendidik, pembimbing dan sebagai pendidik yang utama. Ayah dan ibu ada di posisi pertama dan utama, baru guru yang lain.

Peran strategis pendidikan keluarga juga disampaikan J.H. Pestolozzi, seorang tokoh pendidikan di Zurich Swiss yang mendirikan sekolah “Neuhof” di lahan pertaniannya. Menurutnya pendidikan harus mengintegrasikan pendidikan di kehidupan rumah tangga, pendidikan vokasional dan pendidikan membaca dan menulis.

Hafiz Ibrahim, seorang penyair ternama juga memperkuat posisi penting orang tua dalam syairnya “Al-ummu madrasatul ula, idza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq”. Ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.
Begitu strategis peran orang tua bagi pendidikan anaknya.

Anak adalah amanah yang dititipkan Tuhan yang wajib dijaga serta wajib dinafkahi orang tuanya. Sayangnya kita senantiasa menafsirkan nafkah hanya sebatas pemenuhan aspek fisiologis saja. Padahal nafkah dalam bentuk ilmu pengetahuan sama wajibnya dengan memberi makan yang baik dan halal pada anaknya. Jika tidak mampu, baru minta bantuan sama orang lain seperti guru di sekolah. Maka wajar pula kalau orang tua membayar mahal guru yang membantu perannya.

Pemerintah harus konsisten dengan menyeimbangkan jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Berikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pendidikan keluarga merupakan fondasi pertama dan utama.

Konsekuensinya pemerintah harus memperkuat program integratif antara sekolah dan orang tua, Program parenting menjadi sangat penting dan kurikulum harus didesain mengakomodasi peran orang tua, baik dalam aspek proses pembelajaran maupun sistem penilaian. Buat jadwal terpadu yang memberikan ruang sharing antara anak dan orang tuanya.

Orang tua juga seyogyanya harus punya ruang berliterasi, karena berliterasi bukan hanya kewajiban anak saja. Dengan cara ini, akan terjadi sinergi positif anak dengan orang tua atau walinya.

Selain itu, kita juga mengkhawatirkan terjadinya distorsi materi pembelajaran yang lebih mengarah pada aspek kognitif. Bersyukur ini sudah dideteksi pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan kurikulum 2013 yang salah satunya menguatkan aspek sikap, baik sikap spiritual maupun sosial. Namun ini saja belum cukup.

Perlu adanya penguatan pendidikan karakter dalam rangka menghadapi persoalan-persoalan hidup di masa depan, membiasakan mereka untuk mampu memecahkan masalah yang dihadapinya secara mandiri. Pengarusutamaan pendidikan karakter juga menjadi penting dalam rangka mengantisipasi learning loss. Harus ada sistem penilaian pendidikan karakter yang terintegrasi dengan nilai-nilai akademis siswa, dan sekali lagi, peran utama orang tua dalam proses pendidikan karakter serta sistem penilaiannya harus diberikan ruang yang signifikan.

Learning loss di masa pandemi adalah sesuatu yang bisa dimaklumi, Kondisinya memang tidak bisa dihindari, namun tentu kita tidak boleh menyerah pada keadaan. Boleh jadi ini adalah pendorong lahirnya learning society, sebuah budaya baru dimana masyarakat terkondisi berliterasi secara berjamaah.

Bagi orang tua yang tidak terlalu sibuk bekerja bisa didesain jadwal belajar secara berjamaah, sambil membuka memori-memori pelajaran lama. Bagi yang sibuk bekerja, bisa mengoptimalkan peran media sosial agar anak belajar maksimal.

Selain itu, strategi blended learning yang memadukan antara daring dan luring juga harus dioptimalkan oleh guru, wabil khusus untuk siswa yang terkendala jaringan internet dan bagi siswa yang orang tuanya terkendala dalam memahami materi pembelajaran.

Dengan demikian, proses pengukuran pembelajaran di sekolah formal akan terbantu dari aspek informal, dan Learning loss bisa diminimalisir. Wallahu a’lam. (*)

 

 

 

 

Exit mobile version