Oleh: Dr Budi Santoso | Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
Kopi susu ala kafe tersaji apik dengan es, seharga hanya Rp 12.500. Nasi Fried Chicken dijual seharga 10 ribu, donat beli 2 dapat 6, dan berbagai penjualan makanan “obral” lainnya ditawarkan sebuah mini market ternama.
Persis di depannya, Mang Diding pedagang rokok dan pecel lele, asal Luragung, menjual segelas kopi sachet Rp 4.000, nasi pecel ayam seporsi Rp 16 ribu. Demikian pula menjual gorengan tetap sepotong gorengan hanya Rp 1.000.
Pertarungan yang kejam, seperti tidak seimbang, ibarat David vs Goliath. Atau Daud melawan Jaluth. Siapa yang akan tewas dahulu? Kita tunggu endingnya.
Sejak zaman dahulu, pengusaha selalu mau menghegemoni yang lainnya. Menyikat bahkan mencaplok dengan cara halus dan kasar (hostile). Zaman dahulu pengusaha kakap mencaplok kakap, karena berebut jatah kakap. Namun ketika jatah makanan kakap berkurang, sekarang kakap mau merebut jatah makanan teri.
Untung saja, puji Tuhan ada aplikasi. Sehingga, teri berbondong-bondong dapat beraksi dalam satu aplikasi dan fokus terhadap apa yang dijual. Tidak usah lagi memikirkan iklan, antaran dan bayaran. Semua ada dalam genggamannya.
Hal ini, membuat para pengusaha kakap, “nungging” minta ampun. Bahkan banyak yang tumbang.
Mang Diding sekarang termangu, memikirkan nasib jualannya semakin merosot dari hari ke hari. Selain alasan Covid, sekarang harus rebutan rezeki recehan dengan orang kaya.
Apalah artinya Diding sang UKM. Biasanya pemerintah di zaman dahulu lebih berpihak kepada perusahaan yang besar dengan memberi dana talangan karena katanya akan berakibat sistemik dan bla..bla ..bla.. Too big to fail, katanya. Terlalu besar risikonya bila gagal.
Rupanya sekarang pemerintah mulai bergerak membantu permodalan UKM. Mudah mudahan tidak habis untuk bayar utang para UKM, yang banyak menjadi dhuafa dan MANTAB alias makan tabungan, dan ludes.
Mungkin pemerintah perlu juga memikirkan untuk membantu UKM dari “hantaman” para pedagang kakap, yang bermodal besar, yang terus merangsek, menghajar rezeki recehan UKM dengan cara sistematis, dan masif.
Saya tidak tahu apakah akan terhalang oleh adanya kebebasan berusaha. Namun, apakah tidak ada kewajiban para pemain kakap untuk sinergi agar produk UKM dapat nitip di pengusaha besar.
Sebelum dijalankan saya sudah pesimis duluan. Sepertinya akan sangat ribet. Sudah menjadi pengalaman hidup saya, bahwa dua kata yang sulit dijalankan di masyarakat kita adalah kordinasi dan sinergi. Saya tidak tahu kenapa?
Bagaimana nasib Diding dan segelap kopi yang diraciknya? Walllahu a’lam.