Pojok  

Filosofi Bahagia: Tertawa Obati Derita!

Oleh: SUKRON ABDILAH | Penulis Buku, Aktivis Muda Muhammadiyah

KABARINDAH.COMManusia hidup dalam dua kondisi jiwa: senang dan sedih. Kesenangan adalah energi positif. 

Dengan kesenangan dan suasana hati riang, tentunya kita bakal banyak menemukan kebahagiaan karena hidup tidak dijadikan sumber penderitaan. Sementara itu, kesedihan identik dengan energi negatif. Salah satunya berupa kekecewaan.

Ketika kita tidak mampu melihat dibalik setiap kejadian yang menimpa, misalnya, kadangkala kesedihan yang dihasilkan akan menjadi sumber derita.

Karena itu, tertawalah!

Tertawa bukan sesuatu yang harus kita jauhi. Ia adalah bagian dari sisi kemanusiaan kita. Dan, Islam sebagai “way of life” memang tidak pernah melarang umatnya untuk tertawa.

Muka manis, senyum, dan keceriaan sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Banyak riwayat menerangkan Rasulullah Saw., terlihat gigi putihnya saat bercanda dengan istri dan sahabat-sahabatnya.

Tertawa, kalau mampu mengobati luka, tidak salah rasanya kalau dilakukan saat ragam musibah menimpa. Asalkan, jangan menertawakan penderitaan dan kelemahan orang lain saja.

Satu lagi, jangan tertawa ketika kita sendirian. Di balik tertawa ada rahasia jiwa yang sehat!

Pepatah itu memang benar adanya. Ketika Kita tertawa lepas, jiwa terasa sehat dan hidup menjadi menyenangkan.

Bukan hanya itu, tertawa juga merupakan indikasi dari kesehatan fisik. Orang yang sedang sakit fisik, tidak akan terlihat tertawa.

Akhir-akhir ini ditemukan bahwa kesehatan mulut bisa membebaskan orang dari penyakit jantung dan stroke.

Orang yang banyak senyum, kata Rasulullah Saw., seakan bersedekah dan berbuat baik untuk orang di sekitar. “Tabassuka fi al-wajhi shadaqatan”.

Sementara itu, orang yang jarang tersenyum, katanya, rentan terkena stroke dan penyakit jantung.

Saking berbahaya muka masam, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang bermuka muram ketika berada di hadapan kawan-kawannya.” (HR. Dailami).

Suatu hari Nashruddin “Khoja” dipercaya untuk mengisi ceramah di Masjid. Namun, ia merasa belum siap menyampaikan ajaran Islam pada warga sekitar.

Setelah setengah dipaksa, akhirnya Nashruddin menyanggupi permintaan jamaah Masjid itu. Kemudian ia naik ke mimbar, mengawalinya dengan doa dan berkata:

Wahai saudara sekalian! Tahukah kalian apa yang akan aku sampaikan dalam khutbah kali ini?”

Tidak tahu!!”, jamaah menjawabnya kompak seperti sedang mendengarkan juru kampanye. 

Kalau kalian tidak tahu, sia-sia saja aku berceramah”, sambung Nashruddin sambil turun dari mimbar meninggalkan jamaah.

Keesokan harinya, Nashruddin masih dipercaya jamaah Masjid untuk berceramah di hadapan mereka. Ia pun kembali naik ke mimbar dan berkata:

Saudara-saudaraku, sekarang aku akan bertanya kepada kalian, tahukah apa yang akan aku katakan hari ini”

Kami tahu!”, jawab jamaah bersemangat seperti sedang mengantri menerima bantuan BLT.

Kalau begitu, kalian sudah tahu dan sia-sia saja kalau aku berceramah”, kata Nashruddin sambil duduk kembali bergabung dengan jamaah yang keheranan.

Pada keesokan harinya, warga jamaah Masjid masih memercayai Nashrudin untuk bercuap-cuap di hadapan mereka. Warga berpikir, kali ini Nashruddin Khoja sudah siap menyampaikan materi khutbahnya.

Nashruddin kembali menaiki mimbar, mengucapkan doa dan mulai berkata:

Wahai saudaraku tercinta dan semoga dirahmati Allah, sudahkah kalian mengetahui apa yang akan aku katakan kali ini?”

Sebagian jamaah ada yang menjawab “kami tahu”. Sebagian lagi, menjawab “tidak tahu”.

Nah, kalau begitu bagi orang yang sudah tahu dianjurkan memberitahu yang belum tahu. Dan, orang yang belum tahu aku anjurkan bertanya kepada yang sudah tahu.”

Exit mobile version