Bisnis  

Harga Cabai Rawit Masih Meroket, Pemerintah Tegaskan Tak Perlu Impor

KABARINDAH.COM — Harga cabai rawit di pasaran masih tinggi. Cabai rawit merah menyentuh angka Rp 120 ribu per kilogram (Kg). Sebelumnya, harga cabai rawit sempat mencapai Rp 140 ribu per kilogram. Meski harga cabai terus meroket, Kementerian Pertanian memastikan tak akan menempuh jalur impor.

Hingga kini, Kementerian Pertanian terus melalukan berbagai upaya untuk menjamin ketersediaan komoditas strategis termasuk cabai rawit. Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto menegaskan, tidak ada impor untuk merespons kenaikan harga cabai yang terjadi dua bulan terakhir. Koordinasi dengan berbagai pihak untuk mempercepat pasokan dan meredam kenaikan harga cabai rawit telah dilakukan.

“Kami sudah berkoodinasi dengan Badan Ketahanan Pangan, BUMN yakni PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), Paguyuban Pedagang dan Pengelola Pasar Induk Kramat Jati, serta dengan para Champion Cabai Indonesia,” ujar Anton dalam keterangannya kepada media.

Berbagai upaya jangka pendek yang dapat dilakukan untuk menstabilkan pasokan dan meredam kenaikan harga cabai rawit dibahas dalam rakor tersebut. BKP menggelar pasar cabai murah di 34 titik yang berlangsung dari tanggal 8-20 Maret.

Baca Juga:  Awal Juni 2024, Harga Cabai Rawit di Pasar Tradisional Sukabumi Naik

Ditjen Horti akan endukung pendistribusian cabai dengan fasilitasi sarana distribusi yang dimiliki. Selain itu Ditjen Horti juga menyusun perjanjian kerjasama dengan RNI dalam upaya stabilisasi pasokan ini.

PT Rajawali Nusindo (RN) yang tidak lain adalah anak Perusahaan PT RNI berperan sebagai off taker yang menjembatani antara Champion/Pertani cabai dengan Pasar Induk Kramat Jati. PT RN juga dapat memfasilitasi petani dalam mencarikan pembeli dan memanfaatkan infrastruktur yang dimilikinya di seluruh Indonesia.

Disamping melakukan upaya-upaya tersebut, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Tommy Nugraha menjelaskan bahwa bulan April depan diprediksi pasokan sudah aman sehingga tidak perlu adanya impor cabai. Data Early Warning System (EWS) kita menunjukkan neraca produksi cabai rawit surplus sebesar 42 ribu ton di bulan April dan 48 ribu ton di bulan Mei.

Baca Juga:  Cara Bedakan Uang Palsu dengan Uang Asli. Dilihat, Diraba, Diterawang!

Selain menggandeng BUMN sebagai off taker, kedepan Ditjen Horti juga akan mendorong petani menerapkan inovasi rainshelter untuk melakukan tanam pada bulan off season (Juli-Agustus). Untuk menjaga pasokan cabai di DKI Jakarta sebagai barometer harga komoditas nasional, maka perlu ada buffer stock berupa standing crop di wilayah-wilayah daerah penyangga yang dapat dikendalikan Pemerintah. Dan terus mengedukasi masyarakat untuk mengkonsumsi cabai olahan (kering, bubuk, pasta, sambal botol, saus), sehingga tidak tergantung kepada cabai segar.

“Masyarakat juga dapat melakukan pengawetan sendiri pada saat harga cabai sedang murah serta menggerakkan masyarakat rumah tangga untuk dapat bertanam aneka cabai di pekarangan, sehingga tidak terlalu terpengaruh apabila terjadi lonjakan harga cabai di pasaran, ujar Tommy.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Agribisnis Indonesia, Abdul Hamid. Saat dihubungi melalui telephone, Hamid mengatakan bahwa Pemerintah dihimbau untuk menahan diri agar tidak impor cabai. Anggota AACI dan mitra nya di berbagai daerah menyampaikan bahwa kini cabai mulai panen. Terutama dari dataran tinggi seperti Kabupaten Bandung, Sukabumi, Magelang, Temanggung , Kediri dan Blitar dan siap masuk ke pasar. Diperkirakan mulai akhir Maret atau awal April pasokan akan bertambah dan harga akan stabil.

Baca Juga:  Gubernur Anies: Target UMKM Baru Terlampaui Pada Jakpreneur Fest 2021

“Komitmen AACI bersama pemerintah ke depannya akan memperbaiki sistem budidaya petani dengan optimalisasi teknologi sebagai upaya peningkatan produktivitas”, tutup Hamid.

Sebelumnya, harga cabai rawit mengalami kenaikan dipacunpasokan yang berkurang akibat berbagai faktor. Mulai dari berkurangnya pertanaman karena rendahnya harga sepanjang tahun 2020 akibat dampak pandemi Covid-19. Ditambah dengan faktor cuaca ekstrim (La Nina) yang menganggu produksi hingga bencana alam yang merusak pertanaman di beberapa wilayah sentra produksi. (*)