Pojok  

Evita Chu, Small is Beautiful, dan UKM di Negeri Kita

Oleh Dr Budi Santoso
(Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta)

“Stronger but not bigger,” kata Evita Chu, berbicara tentang bisnisnya ke depan. Sekarang bisnisnya bergeliat kembali setelah terhenti karena Pandemi.

Evita Chu adalah pengusaha rajutan dan juga designer. Ia yang merajut baju Michele Obama ketika menghadiri pelantikan Presiden Amerika Serikat Joe Bidden. Dan gaun Michele Obama desain Evita, telah menjadi perbincangan di dunia mode.

Sekarang perusahaan Evita sedang ramai kebanjiran order di kala pandemi, dengan mempekerjakan karyawannya sebanyak 15 orang.

Evita orang Indonesia yang berusaha di Amerika, hanya berharap bisnisnya kuat, dan tidak harus besar. Menjadi menarik bagi saya untuk istilah ini. Ketika banyak orang ingin cepat segera besar dan segera kaya, menjadi crazy rich.

Di zaman “meriang” ini, banyak perusahaan besar yang ambruk, baik karena Pandemi maupun secara bisnis kalah bersaing dihajar oleh perusahaan “kremi” yang tidak terlihat, namun menyerang seperti virus di dunia maya. Perusahaan kecil atau UMKM, digadang untuk dapat menopang perekonomian negeri.

Di tahun 1973, ada buku legendaris wajib bacaan mahasiswa Ekonomi, berjudul “Small is Beautiful”, karangan E.F. Schumacher, yang bercerita tentang pemberdayaan usaha kecil, yang berlawanan dengan frasa lebih “besar lebih baik”, atau “kecil itu indah, tapi kecil”. Waktu itu banyak yang mengecilkan arti usaha kecil atau UMKM.

Sekarang banyak negara mendorong UMKM agar maju. Banyak pemerintah mendorong agar penduduknya minimal 2 persen menjadi wirausaha, seperti yang ada di negara-negara maju.

Sepertinya, kecil tapi kuat perlu menjadi renungan bersama kembali. Ketika kita semua dalam berusaha selalu ingin segera membesarkan usaha dengan cara instan atau istilahnya scaling up, akselerasi, meledak secara instan atau apapun.

Franchise adalah salah satu cara dalam menggandakan usaha yang seolah-olah mudah. Di Indonesia banyak yang melakukannya, dari jualan bakso, serabi oncom, es serut, martabak dan lain-lain. Namun alih-alih maju, malah “semaput”. Usahanya saja belum jelas keberhasilannya sudah cepat-cepat di-franchise-kan.

Dan akhirnya banyak yang mengecewakan. Idealnya sebuah usaha yang di-franchisekan harus sudah andal dan teruji menghasilkan. Bukan sekadar menjual sistem dagang yang kropos.

Perusahaan kelas kecil, seringkali lebih senang membangun kekuatan dengan lebih menekuni bahkan secara repetitif, mengulangi pekerjaan apa yang ada, sampai ahli, lebih fokus memperbaiki internal ketimbang melihat dan menyambar potensi luar. Kita dapat melihat banyak perusahaan kelas UKM, dari dulu sepertinya begitu-begitu saja.

Ada sikap kehati-hatian untuk mengembangkan bisnis. Mengerjakan bisnis seperti bermain seni, pelakunya seperti menikmati prosesnya. Banyak perusahaan kuliner tradisional, dengan tegas membuat kertas pengumuman di warungnya yang laris, dengan kata, “Tidak membuka cabang”. Sepertinya mereka lebih suka memiliki satu tapi kokoh, ketimbang banyak tapi repot, bikin pusing, kehilangan kontrol dan kemudian ambruk.

Mungkin para UMKM hanya berpikir, bahwa perusahaan kecil yang kuat lebih bagus daripada gede tapi keropos.

Namun kita adalah manusia, banyak kebiasaan yang selalu serakah, dan selalu timbul keinginan, kenapa tidak dibuat besar dan kuat? Bahkan seringkali melampaui kemampuan kerja dan berpikir pengelolanya. Sampai pada akhirnya usahanya bubar.

Memang kita selalu mengidamkan, besar dan kuat. Katanya mantap.

 

 

 

 

 

Exit mobile version